Saling Kunci dan Saling Goda, Fenomena Menarik Menjelang Pilpres 2024.

No Name

No Name

Diperbarui 21 November 2022 15:21 WIB
Jakarta, MI – Saling kunci dan saling goda di antara partai politik untuk membangun kolisi agar bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden kian terlihat meskipun pemilihan presiden akan digelar lebih dari dua tahun lagi. Bagaimana tidak? Dua fenomena tersebut selalu terjadi setiap menjelang pemilihan presiden, akan tetapi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 kondisinya agak berbeda. Pasalnya, tidak ada lagi calon petahana yang punya elektabilitas di atas 30 persen alias meyakinkan sehingga semua partai politik dan figur calon presiden lebih sibuk mencari dukungan politik terlepas dari apakah sang figur sudah punya modal sosial yang kuat atau punya partai politik pendukung yang mapan. Sedangkan dari sisi partai politik, hal yang sama juga terjadi karena lemahnya identitas partai maupun ideologi dari para pemilih sehingga tidak mudah untuk mendapat dukungan politik dari publik. Lemahnya identitas partai dan kesetiaan pada ideologi tertentu terlihat dari berubah-ubahnya selera pemilih setiap pemilu kalau tidak mau disebut massifnya suara mengambang dalam setiap perhelatan demokrasi tersebut. Fenomena “Koalisi Perubahan” yang sedang diupayakan Partai Nasdem bersama Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi contoh sempurna dari upaya saling kunci dan saling goda menjelang Pilpres 2024. Pasalnya, koalisi itu batal dideklarasikan pada 10 November lalu meskipun sebelumnya sempat digembar-gemborkan deklarasi tiga partai itu akan bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan. Padahal, koalisi itu digadang-gadang mengusung mantan gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) 2024 yang sebelumnya telah dideklarasikan Partai Nasdem. Menarik apa yang disampaikan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno saat menganalisa persoalan tersebut. Dia memaparkan tiga analisa mengapa deklarasi Koalisi Perubahan batal dideklarasikan pada Hari Pahlawan. Pertama, terkait sosok calon wakil presiden (cawapres) karena salah satu faktor penentu elektabilitas pada pilpres adalah sosol orang kedua tersebut pada setiap pemilu. Partai Demokrat diketahui mengusulkan Ketu Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sedangkan dari PKS menjagokan Ahmad Heryawan (Aher), Wakil Ketua Majelis Syuro PKS sebagai bakal cawapres. "Apakah AHY, ataukah Aher yang layak mendampingi Anies. Sangat rasional jika dua partai ini saling berebut cawapres karena posisinya saling mengunci," kata Adi beberapa waktu lalu. Apa yang dikatakan Adi cukup beralsan. Pasalnya, kolaborasi yang intens antara ketiga partai menjadi syarat mutlak karena saling membutuhkan satu dengan yang lain secara setara dan seimbang. Artinya, Partai Nasdem tidak bisa mengusung Anies sebagai capres jika Partai Demokrat atau PKS angkat kaki karena tidak memenuhi ambang batas 20 persen gabungan suara partai politik atau 25 persen raihan suara secara nasional pada Pemilu 2019. Belum lagi di antara ketiga partai itu tidak ada yang paling dominan karena ketiganya relatif punya kekuatan yang sama dari segi perolehan Pileg 2019 lalu. Karena itulah wajar apabila negosiasinya panjang. Alasan kedua, kata Adi, adalah efek ekor jas yang diduga akan membuat basis pemilih PKS beralih ke Nasdem karena faktor partai besutan Surya Paloh itu yang mengusung pertama kali sosok Anies sebagai Capres 2024. Dalam konteks itu PKS perlu menahan basis pemilihnya agar tidak “berpindah ke lain hati”. Begitu juga dengan Demokrat, sebagian pemilihnya mulai juga ada yang melarikan dukungannya ke Nasdem. Hanya saja hal itu berbeda dengan Demokrat. Partai itu agaknya diuntungkan oleh figur AHY yang dipersonifikasi bakal maju di 2024 sehingga efeknya minim. “Alasan ketiga mengapa deklarasi Koalisi Perubahan diundur adalah untuk mendapatkan respons publik untuk menemukan momentum tepat,” katanya. Menurut Adi, ketiga partai tersebut harus mencari titik temu agar bisa mendeklarasikan Koalisi Perubahan. Alasannya, dua partai politik calon anggota Koalisi Perubahan ini juga ternyata digoda oleh koalisi lain. PKS digoda untuk bergabung dengan koalisi Gerindra-PKB dengan iming-iming yang katanya cukup fantastis. Sedangkan Demokrat juga digoda untuk bergabung ke Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Menariknya, KIB merupakan kumpulan partai politik pendukung pemerintah yang sama-sama ada di Kabinet Indonesia Maju. Karena itu sulit dibantah kalu koalisi itu telah mendapat restu dari Presiden Joko Widodo. Bukan tidak mungkin KIB punya tawaran kepada Presiden Jokowi untuk melanjutkan program pembangunan yang telah berjalan selama ini. Hanya saja, sekali lagi, akibat kuatnya saling goda dan saling kunci, KIB pun belum bisa memutuskan siapa yang bakal jadi capres dari koalisi yang sudah terbentuk tersebut. Apakah fenomena ini akan semakin kental hingga Pilpres 2024 digelar? Kita tunggu saja!