Ada Apa dengan PSI, Anies, dan Partai NasDem Menjelang Pemilu 2024?

No Name

No Name

Diperbarui 7 Desember 2022 16:44 WIB
John A. Oktaveri/Jurnalis Senior Monitor Indonesia Jakarta, MI – Kurang lebih dua tahun lagi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, dinamika politik secara nasional mulai menunjukkan peningkatan yang nyata kalau tidak mau disebut memanas. Dinamika itu tidak saja terlihat dalam hubungan antara partai politik, tapi juga di internal sejumlah partai politik sendiri. Perkembangan yang menarik itu seiring dengan bermunculannya para calon presiden yang diramaikan dengan sejumlah hasil survey. Padahal, belum satu pun di antara mereka yang sudah memenuhi syarat ambang batas 20 persen dukungan suara partai atau gabungan partai, maupun 25 persen raihan suara sah secara nasional pada Pemilu 2019. Akan tetapi hal yang tidak kalah menariknya seiring dengan perkembangan dinamika politik itu adalah fenomena keluarnya para “kader terbaik” yang menunjukkan gejala tidak sehat di tubuh partai politik. Para “kader biasa” juga turut memilih untuk keluar dan sebagian pindah ke partai lain dengan berbagai alasan. Hanya saja, dari sejumlah partai politik yang mengalami persoalan internal tersebut, baik yang ada di parlemen maupun yang belum masuk ke Gedung DPR di Senayan, setidaknya ada dua partai yang akhir-akhir ini menjadi sorotan masyarakat. Kedua partai itu adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang banyak dimotori anak muda dan Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang lebih banyak “menjual” isu nasionalisme dan sudah teruji di dua kali pemilu dengan mengirim utusanya ke DPR. Partai Solidaritas Indonesia Versus Partai NasDem Dengan persoalan pokok yang sama di antara kedua partai politik itu, yakni dengan keluarnya para kader, kedua partai mengalami dinamika yang relatif sama, namun masing-masing punya versi yang berbeda. Kalau PSI dilanda prahara internal dengan keluarnya sejumlah kader karena berbagai alasan, termasuk karena ingin membantu Anies Baswedan yang selama ini bulan-bulanan dikritik oleh PSI, lain lagi dengan alasan dari para kader Partai NasDem. Mereka keluar justru karena partainya mendeklarasikan dukungan kepada mantan gubernur Anies Baswedan sebagai calon presiden pada 3 Oktober lalu. NasDem melihat Anies merupakan tokoh terbaik di antara yang baik-baik. Sebagian “bintang” PSI yang mengundurkan diri bergabung dengan Anies Baswedan seperti Sunny Tanuwidjaja. Sekretaris Dewan Pembina PSI itu secara terang-terangan mundur dan menyatakan ingin fokus membantu mantan rektor Universitas Paramadina tersebut. Terbaru, Ketua PSI DKI Jakarta, Michael Victor Sianipar yang mengumumkan pengunduran dirinya pada Senin (5/12). Michael adalah ketua PSI di Jakarta sejak tahun 2017 hingga 2022. Sebelumnya, Michael pernah juga menjabat ketua PSI di Kota Jakarta Pusat di tahun 2015-2017 dan pengurus DPP PSI di tahun 2021-2022. Hanya saja berbeda dari Suny, dia tidak berterus terang soal alasan kemundurannya meskipun hanya mengatakan partainya sudah berubah dari yang dia kenal. Selain Michael, sebenarnya juga ada nama beken lainnya seperti Ketua DPP PSI Tsamara Amany dan Surya Tjandra. Kalau Tsamara mundur diungkapkannya langsung melalui kanal YouTube Tsamara Amany dengan alasan ingin memilih jalannya sendiri, Surya Tjandra mengatakan pada Oktober lalu bahwa keputusan itu diambil lantaran ingin fokus mendukung Anies Baswedan maju sebagai calon presiden di Pilpres 2024 mendatang. "Ya betul, saya sudah mengundurkan diri dan mau fokus bantu pak Anies sampai tuntas," kata Surya ketika dikonfirmasi wartawan beberapa waktu lalu. Hanya saja, Michael tidak menjelaskan secara rinci bagaimana kondisi PSI sekarang dibanding awal berdiri. Dia hanya menyatakan bahwa perjuangan politik yang dimilikinya dapat dilanjutkan di PSI. Anies tak sejalan dengan aspirasi kader NasDem Beda PSI, lain pula Partai NasDem. Sejumlah kader Partai NasDem mengundurkan diri setelah Ketua Umum Surya Paloh mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) 2024. Para kader itu menunjukkan kekecewaan mereka atas keputusan NasDem mengusung Anies sebagai capres. Sebagian dari mereka menganggap ideologi Anies tidak sejalan dengan NasDem. Niluh Djelantik misalnya, mundur dengan alasan tidak sejalan dengan Anies meskipun tidak punya masalah pribadi dengan mantan gubernur DKI Jakarta itu. Dia sebelumnya merupakan ketua Departemen Bidang UMKM DPP Partai NasDem yang juga seorang desainer busana ternama. Niluh menyatakan "Anies Baswedan berada di seberang kami” dan dirinya menerima Anies saat beliau jadi juru bicara capres Joko Widodo. Langkah Niluh diikuti oleh eks Ketua DPW Gerakan Restorasi Pedagang dan UMKM (Garpu) NasDem Sulawesi Utara (Sulut) Fredriek 'Didi Roa' Lumalente. Fredriek mengaku tidak cocok dengan Anies dan telah berkomunikasi dengan Niluh sebelum mengumumkan keputusan itu. Sedangan Wakil Ketua Bidang Hubungan Eksekutif di DPW NasDem Bali, Anak Agung Ngurah Panji Astika juga mengambil langkah serupa. Panji mengaku tidak cocok dengan Anies dan menilai lebih baik keluar daripada terus tidak cocok dengan keputusan NasDem. Sementara itu dari daerah, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai NasDem Nusa Tenggara Barat (NTB), Sitti Rohmi Djalilah secara tegas mengumumkan penguduran dirinya atas sikap partainya tersebut. Sitti Rohmi bukan tokoh sembarangan mengingat jabatannya sekarang adalah wakil gubernur NTB dan merupakah salah satu tokoh perempuan terkemuka di provinsi tersebut. Melihat fenomena dari kedua partai politik dan perilaku para kadernya, agaknya masih sulit untuk berharap partai politik yang merupakan salah satu instrumen demokrasi akan mampu menciptakan identitas yang kuat. Dengan demikian, identitas itu secara kuat pula mampu mengikat para kadernya sehingga tidak dengan enteng untuk keluar saat partai mengalami dinamika yang tinggi. Sikap pragmatis para kader partai juga sangat terlihat ketika sebagian dari mereka lebih memilih menyelamatkan diri daripada membangun komunikasi yang baik dengan pengurus di tingkat elite. Pasalnya bisa saja pengurus di tingkat pusat mengambil keputusan yang berbeda dari aspirasi kader. Agaknya fenomena inilah yang masih dan akan terus berlangsung dalam mewarnai dinamika politik menjelang Pemilu 2024 kalau partai politik tidak segera berbenah.