Migrasi dan Kesejahteraan Semu "Pseudo Prosperity"

No Name

No Name

Diperbarui 18 Januari 2023 10:21 WIB
Oleh: Dr. Martua Sihaloho, SP, M.Si Dosen Program Studi Sosiologi Agama, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Kristen (FISHK), Institut Agama Kristen Negeri Tarutung (IAKN) – Sumatera Utara. SEJAK tahun 1970-an, migrasi internal dan internasional telah menjadi pilihan strategi nafkah rumah tangga miskin pedesaan Jawa Barat. Pelaku migrasi didominasi oleh rumah tangga petani dari lapisan bawah. Migrasi tidak hanya menjadi strategi nafkah bagi rumah tangga miskin-lapisan bawah saja, melainkan strategi nafkah untuk lapisan menengah dan atas. Sebagai sebuah strategi nafkah, didentifikasi lima tipologi rumahtangga berdasarkan gerak penduduk dan strategi nafkahnya yaitu: (1) Strategi survival non migran (22,67%); (2) Strategi survival migran (42,82%); (3) Strategi adaptif dan bertahan pada simbol kesejahteraan baru (15,16%); (4) Strategi mencapai simbol kesejahteraan baru (15,45%); dan (5) Strategi melampaui simbol kesejahteraan baru (3,90%). Alasan-alasan penduduk menjadi migran adalah (1) tidak akses terhadap sumberdaya agraria lokal, (2) kesulitan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, (3) kesempatan bekerja dan upah yang rendah di Indonesia sementara kesempatan kerja di negara tujuan termasuk tinggi, (4) kisah sukses migran dari tetangga, dan (5) kondisi perekonomian nasional utamanya krisis ekonomi tahun 1997/1998. Meskipun rumah tangganya tidak akses pada sumberdaya agraria lokal, pilihan migrasi internal sudah dilakukan oleh masyarakat desa sebagai upaya untuk survival. Akan tetapi, sebagian kecil masyarakat memilih tidak melakukan migrasi dan tetap mencari nafkah di luar desa mendorong rumah tangganya melakukan beragam pekerjaan baik tetap di pertanian maupun non pertanian, dan sifatnya “serabutan” utamanya masyarakat dari kelompok lapisan bawah. Pilihan migrasi internasional adalah negara-negara Arab (89,47%) dan negara-negara Asia (10,53%). Meskipun umumnya hanya melakukan kontrak satu kali (89,57%), masyarakat desa telah membudayakan migrasi sebagai strategi nafkah. Selanjutnya, pilihan untuk migrasi internal adalah umumnya kota Jakarta, Tangerang, Bandung, dan lain-lain. Pelaku migrasi internasional umumnya adalah perempuan (85,60%) dan laki-laki (14,40%) dan pelaku migrasi internal umumnya adalah laki-laki (91%) dan perempuan (9%). Untuk migrasi internasional perempuan lebih migratory dan untuk migrasi internal laki-laki lebih migratory. Memiliki rumah dan lahan pertanian merupakan simbol kesejahteraan di aras masyarakat. Penggunaan remitan dapat mencapai, bahkan melampaui simbol kesejahteraan dan selanjutnya mendinamisasi realitas sosial di aras masyarakat yang ditunjukkan dengan adanya mobilitas sosial horizontal dan mobilitas sosial vertikal (naik dan turun). Fenomena Migrasi Berkaitan dengan fenomena migrasi ini, fakta empiris menunjukkan bahwa (1) membudayakan migrasi sebagai strategi nafkah, (2) terjadi krisis agraria dan kebutuhan daya dukung eksternal, (3) kemiskinan permasalahan multi-dimensional, (4) penggunaan remitan untuk mencapai simbol kesejahteraan, (5) mobilitas sosial terjadi melalui penggunaan remitan, (6) kesejahteraan dan pendapatan sifatnya sementara/tidak mengalami peningkatan), (7) pewarisan lahan berdasarkan nilai-nilai budaya sebagai jaminan kesejahteraan, dan (8) ketidakmampuan masyarakat desa membeli lahan. Secara singkat, pada prinsipnya migrasi (baik internal maupun internasional), mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat pedesaan. Akan tetapi, satu hal yang menarik yang dapat dirumuskan sebagai gagasan yang memerlukan solusi ke depan adalah realitas kesejahteraan semu (pseudo prosperity). Pseudo prosperity adalah kesejahteraan yang tampak pada ciri fisik kepemilikan rumah (bersifat simbolik) saja, namun sesungguhnya masih termasuk kategori miskin jika dilihat dari ukuran pendapatan sesuai kriteria Badan Pusat Statistik dan Bank Dunia. Selanjutnya, implikasi kebijakan bagi stakeholders yang relevan hingga saat ini adalah agar saling sinergi dalam mengatasi permasalahan kemiskinan. Contohnya adalah (1) sangat perlu hati-hati dalam mengambil keputusan moratorium Tenaga Kerja Indonesia (TKI), (2) membuka lapangan kerja baru (termasuk untuk eks migran), dan (3) aksi konkrit stakeholders untuk mengakselerasi capaian kesejahteraan yang sesungguhnya. Kesejahteraan yang sesungguhnya merupakan harapan semua stakeholders, utamanya harapan masyarakat miskin.***
Opini Terkait