Urgensi “Keteladanan Dialektik” dalam Kehidupan Bermasyarakat

No Name

No Name

Diperbarui 10 Maret 2023 09:23 WIB
Oleh: Dr. Martua Sihaloho, SP, M.Si/Dosen Program Studi Sosiologi Agama, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Kristen (FISHK),  Sekretaris Program Studi S3 Teologi – Pascasarjana Institut Agama Kristen Negeri Tarutung (IAKN) – Sumatera Utara SOSIALISASI adalah salah satu proses dan sekaligus kata kunci dalam menghasilkan beragam kebaikan-kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Tulisan ini secara khusus merespon realitas akan relatif kurangnya keteladanan-keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, dirasakan sepenuhnya bahwa realitas yang terjadi dalam konteks tulisan ini diakibatkan oleh kurangnya keteladanan dari pihak yang sejatinya memberikan keteladanan. Realitas ini, telah menjadi “keprihatinan” penulis, baik menyaksikan kehidupan bermasyarakat di wilayah kota (sekitar 22 tahun) dan di wilayah pedesaan (sekitar 6 tahun). Dengan kata lain, dalam tiga dekade terakhir. “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, merupakan sebuah peribahasa yang sangat relevan dengan topik tulisan ini. Peribahasa tersebut bermakna bahwa apapun yang dilakukan oleh guru, akan ditiru oleh murid, “mentah-mentah”. Dalam hal ini, konsep sosialisasi dan keteladanan menjadi dua konsep penting dalam “pendidikan karakter” dan kehidupan bermasyarakat (bahkan berbangsa). Apa hubungan sosialisasi dengan keteladanan? Sosialisasi sebagai proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Berger 1978). Selanjutnya, Menurut Sunarto (2004), relevan dengan definisi yang dipaparkan oleh Berger (1978) menunjukkan bahwa melalui sosialisasi itulah (nilai-nilai) masyarakat masuk ke dalam individu manusia. Teladan adalah sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh (tentang perbuatan, kelakuan, sifat, dan sebagainya). Selanjutnya, keteladanan adalah hal yang dapat ditiru atau dicontoh (KBBI). Pelaku sosialisasi umumnya adalah pihak yang berstatus lebih tinggi, (misalnya orangtua) dibandingkan dengan penerima sosialisasi (penerima ajar-didik), misalnya anak. Dengan demikian, sejatinya pelaku sosialiasi idealnya bahkan seharusnya menunjukkan keteladanan-keteladanan, utamanya terkait dengan apa yang disosialisasikannya itu (proses ajar-didik). Bagaimana jika dari status yang berbeda? Tentu saja, seiring perubahan yang terjadi saat ini, utamanya dengan perubahan teknologi, tentu sangat dimungkinkan “ajar-didik” bisa terjadi dari yang “statusnya lebih rendah” kepada yang “berstatus lebih tinggi”. Dengan kata lain, sangat memungkinkan untuk saling belajar dan saling sinergi satu dengan yang lain, serta sifatnya “kolegial”. Tantangannya adalah apakah hal ini bisa diterima dan diimplementasikan? Jawabannya adalah bisa, “jika dan hanya jika ada sikap bijak dan penuh hikmat”. Dengan demikian, pada proses sosialisasi inilah diperlukan keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui keteladanan yang sifatnya “dialektik”, maka kehidupan masyarakat yang didominasi proses-proses sosial yang assosiatif (mendekatkan) dapat diwujudkan. Bila ini berlangsung secara terus-menerus (dalam waktu yang lama), ke depan akan menjadi budaya yang melembaga-menginternalisasi dalam kehidupan bermasyarakat (sebagai “wadahnya”) sehingga peluang mewujudkan kehidupan masyarakat yang beradap dan berkelanjutan akan semakin tinggi (mendekati angka satu). Tentu, hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun, bukan juga hal yang sulit dilakukan. Untuk itu, sangat diperlukan komitmen perubahan ke arah yang lebih baik, yaitu melakukannya dengan sangat segera (dalam hal ini sekarang, tidak menunggu besok apa lagi minggu depan, bulan depan, atau bahkan tahun depan). Implikasi dalam kehidupan bermasyarakat adalah agar semua pihak berusaha menjadi teladan yang baik dalam berbagai interaksi dalam kehidupan bermasyarakat. Tentu, harapan besar ditujukan kepada semua pihak yang menjadi bagian dalam kehidupan bermasyarakat, utamanya mereka yang saat ini menjadi Pimpinan. Selanjutnya, dalam konteks “keteladanan dialektik”, tentu saja oleh semua pihak tanpa mengenal perbedaan status. Semoga!

Topik:

Keteladanan keteladanan dialektik