Uji Kelayakan Panglima TNI Digelar Semi Tertutup, Aktivis Tuding Rawan Nepotisme

mbahdot
mbahdot
Diperbarui 5 November 2021 21:17 WIB
Monitorindonesia.com - Uji kelayakan Panglima TNI yang digelar semi tertutup dikeluhkan kalangan aktivis. Alasannya, model uji kelayakan seperti ini menghambat akses pengawasan dan partisipasi publik, sehingga rentan terjadi kolusi dan nepotisme. Koalisi aktivis meminta DPR untuk berani menyatakan sikap menolak jika merasa figur Jenderal TNI Andika Perkasa tidak layak menjabat Panglima TNI. Terlebih terdapat isu HAM di Papua yang penting untuk diklarifikasi oleh Andika dalam forum yang terbuka. “Proses yang terbuka sangat penting, tidak hanya untuk membuka ruang pengawasan dan partisipasi publik, tetapi juga mengingat Jenderal Andika Perkasa dikaitkan dengan berbagai catatan buruk terkait HAM, transparansi dan akuntabilitas harta kekayaan dan lain-lain,” kata peneliti Imparsial Hussein Ahmad, Jumat (5/11/2021). Koalisi aktivis terdiri dari gabungan LSM yaitu Imparsial, LBH Jakarta, HRWG, Setara Institute, Public Virtue Research Institute, dan Amnesty International Indonesia. Turut bergabung Inisiatif Untuk Demokrasi dan Keamanan (Ideka), Indonesia Corruption Watch (ICW), ELSAM, PBHI Nasional, LBHM, LBH Pers, serta ICJR. Mereka menyatakan sikap menolak uji kelayakan yang digelar semi tertutup meskipun DPR berdalih langkah ini dilakukan untuk menjaga rahasia pertahanan negara yang dibahas dengan Andika. Kalangan aktivis merasa DPR patut meminta alasan dari Presiden mengapa mengusulkan menantu Hendropriyono menjadi calon tunggal Panglima TNI. Politisi Senayan juga diminta menjadikan uji kelayakan dan kepatutan bukan hanya forum memberi stempel setuju terhadap usul Presiden. Atas dasar itu, uji kelayakan patut digelar secara terbuka dan tidak terkesan menjadi agenda formalitas semata. “Siapa pun yang terpilih menjadi Panglima TNI mempunyai rekam jejak menghormati HAM dan berkomitmen untuk memastikan penghormatan HAM dalam dan oleh institusi TNI,” ujar Hussein.