Masinton: Elit Politik Jangan Paksakan Wacana Penundaan Pemilu 2024

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 6 Maret 2022 20:43 WIB
Monitorindonesia.com - Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Masinton Pasaribu mengungkapkan seluruh elemen bangsa harus didengarkan sikap dan pandangannya terkait wacana maupun isu penundaan Pemilu 2024 mendatang. Menurut politikus PDIP ini, wacana maupun isu penundaan pemilu tersebut tidak bisa dipaksakan oleh segelintir elit politik dan elit kekuasaan. “Penundaan pemilu tidak bisa dipaksakan oleh segelintir elit politik dan elit kekuasaan. Harus dijelaskan gamblang urgensi kepentingan dan kemanfaatan besar bagi negara dan bangsa kita jika menunda pemilu,” kata Masinton kepada wartawan, Minggu (6/3/2022). Masinton menambahkan, bahwa penundaan pemilu juga harus melalui konsensus bersama seluruh elemen bangsa. “Jika konsensus dan musyawarah tidak tercapai. Elit politik dan elit kekuasaan jangan memaksakan. Biayanya terlalu mahal bagi kesinambungan negara dan bangsa Indonesia,” tegasnya. Urgensi dan problematika penundaan pemilu, kata Mansinton, haruslah dari berbagai spektrum sudut pandang bukan hanya aspek politik dan ketatanegaraan. Namun juga aspek lainnya seperti sosial, ekonomi dan lain-lainnya karena ini menyangkut stabilitas bernegara dan berdemokrasi. “Kita pernah memiliki dua preseden ketatanegaraan menunda dan mempercepat pemilu,” ujar Masinton. Yang pertama, tahun 1967 Soeharto sebagai pengemban Supersemar dengan dalih situasi kedaruratan dan stabilitas ekonomi saat itu menyelenggarakan sidang MPRS tahun 1967 mengeluarkan Ketetapan (TAP MPRS) menunda pelaksanaan pemilu yang seharusnya diselenggarakan tahun 1968 menjadi tahun 1971. Meskipun saat itu keanggotaan MPRS adalah hasil pengangkatan rekayasa awal rezim orde baru. “Preseden ketatanegaraan tersebut melahirkan kekuasaan absolut dan otoriter berkuasa selama 32 tahun dengan mengabaikan demokrasi dan kedaulatan rakyat,” ujarnya. Preseden kedua adalah saat terjadi krisis ekonomi dan politik yang melahirkan gerakan reformasi dan demokrasi berhasil memaksa mundur Presiden Soeharto 21 Mei 1998, yang sudah tidak dipercaya rakyat dan seharusnya berakhir dalam periode 1997-2002. Siklus Pelaksanaan pemilu saat itu yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2002. Oleh desakan kesepakatan seluruh elemen bangsa melalui gerakan reformasi dan demokrasi memaksa MPR mengeluarkan TAP MPR tahun 1998, memajukan pelaksanaan Pemilu menjadi bulan Juni tahun 1999. “Preseden yang kedua pada tahun 1998 ini, yang memajukan pemilu menjadi tahun 1999, berhasil menegakkan demokrasi dan kedaulatan rakyat, serta membatasi lahirnya kekuasaan absolut,” pungkasnya. (Aswan)
Berita Terkait