Tangguh Hadapi Beragam Persoalan, Jabera Nilai Perempuan Sudah Layak Pimpin RI

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 9 Maret 2022 23:03 WIB
Monitorindonesia.com - Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jabera, Bunga Aprilia mengungkapkan kepemimpinan perempuan patut menjadi panutan bersama dalam memimpin bangsa di tengah perkembangan era globalisasi. Dalam kancah politik dunia misalnya, kata Bunga, perempuan seperti Jacinda Ardern dari Selandia Baru, Angela Merkel dari Jerman dan berbagai pemimpin perempuan lainnya seperti di Finlandia, Islandia, Denmark, Norwegia dan Taiwan mampu membuktikan kapasitas kepemimpinannya dalam menghadapi berbagai macam persoalan termasuk pandemi Covid-19. Menurutnya, mereka dipandang lebih ekspresif dalam menyuarakan pesan dari masyarakat, terlebih lagi dalam menghadapi pandemi Covid-19, mereka mampu memanajemen krisis dan mencegah angka kasus kematian lebih baik dibandingkan dengan kepemimpinan laki-laki. Hal tersebut, kata dia harus dapat menjadi contoh bagi kaum perempuan di seluruh dunia khususnya di Indonesia. "Saya melihat di era postmodern ini perempuan sangat dekat sekali dengan perkembangan globalisasi yang kini merasuki kita semua, dengan begitu pemimpin perempuan patut jadi panutan bersama dalam mengahadapi berbagai tantangan atau persoalan bangsa," kata Bunga dalam acara Webinar Nasional Jabera tentang Perempuan Indonesia, Rabu, (9/3/2022). Di tengah pandemi Covid-19, Bunga menilai, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh kaum perempuan mulai dari mengurus rumah tangga hingga kekerasan terhadap perempuan, akan tetapi perempuan selalu profesional dalam menghadapi persoalan tersebut. "Tantangan perempuan dalam situasi pandemi Covid-19 ini tentu banyak ya, mengurus rumah tangga tidak mudah sebab pekerjaan perempuan tak hanya satu saja, akan tetapi kami perempuan selalu bersikap profesional. Hal itu hingga sekarang menjadi polemik atau perdebatan kenapa budaya patriarki yang mengharuskan perempuan itu bekerja juga melayani rumah tangga, karena apa, ternyata laki-laki yang berada di rumah tidak bisa juga sepenuhnya melayani keluarga," ucap Bunga. Bunga melanjutkan, bahwa budaya patriarki tersebut sebenarnya sudah mengakar karena mungkin tidak semua laki-laki punya toleransi kepada perempuan yang ingin membantu pekerjaan perempuan dalam rumah. "Untuk perempuan dalam rumah tangga itu lah yang menjadi tantangannya mungkin budaya patriarki itu bahwa laki-,laki tidak bisa atau belum bisa memaklumi itu," ujarnya. Menurutnya, perempuan sudah layak menjadi pemimpin karena kalau bicara feminisme modern artinya perempuan bisa memilih menjadi apa saja, akan tetapi yang menjadi persoalannya adalah kenapa perempuan terkadang memiliki pendukung yang sedikit ketimbang laki-laki. "Misalnya menjadi pemimpin bangsa atau presiden itu lebih sedikit penduduknya, karena tadi kita bicara soal budaya juga terhambat, juga agama, sehingga ketika kita sudah terbuka pikiran kita, ternyata pemimpin negara perempuan itu sudah ada sekitar 7 pempimpin perempuan yang justru bisa menangani bencana atau pandemi Covid-19 dan itu sudah terbukti," jelasnya. Bunga menambahkan, bahwa ada ada beberapa strategi ketika perempuan ingin dilihat dalam masyarakat atau eksis ditengah Feminisme Eksistensialis. "Perempuan itu harus dapat bekerja, perempuan harus bisa menjadi kaum intelektualitas atau kaum intelektual, perempuan harus itu harus memiliki kekuatan ekonomi, harus bisa mengendalikan kekuatan ekonomi, misalnya ia berbisnis sehingga dapat mengendalikan keuangannya dan lain-lain," bebernya. Bunga berpesan agar kaum perempuan harus dapat bekerja untuk mencapai transformasi sosial di masyarakat, jadi bukan hanya sekedar bekerja. "Kalau tadi kan yang pertama itu dapat bekerja ya yang kedua ini yang terakhir ini adalah dapat bekerja tapi bisa mentransformasi itu, ya berdirinya kita sebagai perempuan, nah ini sebetulnya yang kita sampaikan tadi ada perempuan itu menjadi profesional itu seperti apa ya itu tadi, ada strateginya ketika kita sudah melihat tempat itu tidak mungkin itu tanpa dukungan harmonisasi gender," ungkapnya. Terakhir, Bunga mengungkapkan bahwa di dalam mengahadapi bencana atau Pandemi Covid-19 juga harus fokus terhadap perempuan dan anak yang mana sudah banyak digaungkan tetapi memang jatuhnya kebijakannya netral oleh pemerintah itu, perempuan memang kurang berani. "Sepertinya pemerintah Indonesia ini kurang berani untuk mengakomodir fokus kepada perempuan kenapa ya, karena cuma 30% juga itu kalau yang mungkin juga bisa jadi maskulin juga gitu ya, jadi dia perempuan ya udah ikut aja gitu Ada juga yang begitu tapi kalau saya lihat ya seperti negara lain memang fokus-fokus gitu ya terhadap pemberdayaan perempuan gitu juga sudah bagus gitu ya, tapi tidak semua kita jadi itu harus dicatat tidak semua kebijakan yang dikeluarkan oleh perempuan itu bersifat sensitif gender," jelasnya. Sementara itu, Pendiri Indonesia Feminist Lawyers Club (IFLC), Nur Setia Alam Prawiranegara mengatakan, perempuan harus mampu menghadapi tantangan dengan mandiri penuh tanggung jawab dan terbuka terhadap apa yang dilakukan. "Perempuan ini pokoknya harus pada posisi yang setara, dia tidak boleh menjadi kelas dua atau relasi kuasa sama seperti misalnya ada mayoritas agama sama minoritas agama atau mayoritas suku dengan minoritas itu sama semuanya itu harus ada persamaan dan tidak bisa dibedakan kamu orang Sunda lebih sedikit daripada orang Jawa kemudian orang Jawa," katanya. (Aswan) #jabera #jabera #jabera #jabera
Berita Terkait