Partai Buruh Kritisi Skema Pengaturan Upah Minimum dan Outsourcing Dalam Perppu Cipta Kerja

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 4 Januari 2023 22:10 WIB
Jakarta, MI- Partai Buruh menyoroti sejumlah pasal di dalam Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang dinilai belum berpihak pada kepentingan buruh. Khusus di klaster ketenagakerjaan, setidaknya ada 9 isu yang disorot oleh buruh, yaitu tentang pengaturan upah minimum, outsourcing, buruh kontrak, PHK, pesangon, waktu kerja, istirahat atau cuti, sanksi, hingga Tenaga Kerja Asing. Terkait dengan pengaturan mengenai upah minimum, Presiden Partai Buruh Said Iqbal melihat ada 4 (empat) persoalan. Pertama, di dalam UU Cipta Kerja terdapat pasal yang menyebutkan bahwa Gubernur dapat menetapkan kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Sementara di dalam Perppu pasal ini tidak diubah, artinya masih sama dengan sebelumnya. "Dengan menggunakan kata 'dapat', maka artinya UMK bisa ditetapkan dan bisa juga tidak. Kami meminta kata 'dapat' dihapuskan, sehingga bunyinya di dalam Perppu menjadi: Gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota," kata Said Iqbal, Rabu (04/01/2023). Kedua terkait upah minimun adalah pasal yang mengatur formula kenaikan upah minimum. Jika di dalam UU No 13 Tahun 2003 pasal mengenai kenaikan upah minimum berdasarkan survey kebutuhan hidup layak dan kemudian diubah dalam aturan turunan UU 13/2003 yaitu PP 78/2015 formula kenaikannya menjadi inflansi dan pertumbuhan ekonomi. Di mana, kata "dan" berarti akumulasi dari keduanya. "Tetapi dalam UU Cipta Kerja menjadi tidak jelas, karena menggunakan formula inflansi atau pertumbuhan ekonomi. Kata atau, berarti opsional. Hanya dipilih salah satu," ujar Said Iqbal. Di dalam Perppu, formula kenaikan upah minimum menjadi semakin tidak jelas. Karena kenaikan upah minimum berdasarkan inflansi, pertumbuhan ekonomi, dan variable indeks tertentu. Said Iqbal mengatakan, indeks tertentu ini tidak jelas. Seharusnya cukup berbunyi, kenaikan upah minimum didasarkan pada inflansi dan pertumbuhan ekonomi. Tidak perlu indeks tertentu. Permasalahan ketiga adalah adanya pasal baru yang mengatur dalam keadaan ekonomi dan keadaan ketenagakerjaan tertentu, formula kenaikan upah minimum bisa berubah. "Pasal ini semakin membingungkan, karena bertentangan dengan pasal sebelumnya yang mengatur fomula kenaikan upah minimum berdasarkan inflansi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks terntentu," kata Said Iqbal. Mungkin ini maksudnya bagi perusahaan yang tidak mampu menaikkan upah dalam keadaan krisis ekonomi, maka perusahaan yang tidak mampu diperbolehkan tidak menaikkan upah minimum. Karena itu formulanya akan diubah. Tetapi harus disadari, dalam keadaan krisis pun masih ada juga perusahaan yang mampu membayar kenaikan upah minimum. "Seharusnya bukan formulanya yang diubah. Tetapi ada kebijakan, bagi perusahaan yang benar-benar tidak mampu bisa mengajukan penangguhan dengan disertai bukti tertulis dalam kondisi merugi dua tahun berturut-turut," katanya. Sedangkan point keempat dalam upah minimum adalah dihapusnya upah minimum sektoral. Partai Buruh tidak setuju upah minimum sektoral dihapus dan meminta agar tetap diberlakukan. Sementara itu, terkait dengan outsourcing, di dalam UU Cipta Kerja dibebaskan di semua jenis pekerjaan. Di dalam Perppu no 2 tahun 2022, nampaknya pembuat Perppu ingin mengubah ketentuan tersebut, tetapi menjadi semakin membingungkan. "Di sana dikatakan, Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksaaan pekerjaan kepada perusahaan alih daya. Artinya outsourcing tetap diperbolehkan dalam Perppu. Di mana penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaaan alih daya akan ditetukan oleh Pemerintah, tetapi tidak jelas pembatasannya berapa jenis pekerjaan. "Partai Buruh menilai pasal otaourcing harus kembali kepada UU No 13 Tahun 2003. Ada kegiatan pokok dan penunjang, di mana yang boleh menggunakan outsourcing hanya di pekerjaan penunjang. Itu pun hanya dibatasi untuk 5 jenis pekerjaan. Cattering, security, driver, cleaning servis, dan penunjang perminyakan," ujarnya.