Kepala Desa Ingin Berkuasa 27 Tahun, Kesempatan Generasi Muda Hilang!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 22 Januari 2023 02:24 WIB
Jakarta, MI - Analis Sosial Politik, Ubedillah Badrun, menyoroti aksi demontrasi yang dilakukan Sejumlah Kepala Desa (Kades) di depan gedung DPR RI pada beberapa waktu lalu. Mereka mengusulkan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun lamanya. Jika merujuk pada Pasal 39 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan, Kepala Desa dapat ikut pilkades selama tiga periode berturut - turut atau tidak berturut-turut. Maka, bisa 27 tahun Kepala Desa berkuasa. Bagi Ubedilah, tidak ada keuntungan bagi rakyat apabila masa jabatan Kades diperpanjang. "Jika 9 tahun yang mendapat keuntungan hanya kepala Desanya. Sementara rakyat di Desa rugi. Sebab regenerasi kepemimpinan di Desa akan sangat lambat," kata Ubedilah, Sabtu (21/1). Anak- anak muda di desa yang mepunyai visi besar membangun desa akan terhambat menjadi Kades. Setidaknya, lanjut dia, lama menunggu giliran menjadi kepala desa. "Generasi muda kehilangan kesempatan minimal 9 tahun," tegasnya. Jika Desa terus-menerus dipimpin generasi tua maka energi perubahannya rendah, bahkan semakin hilang. Akhirnya, lanjut dia, rakyat di desa yang dirugikan karena minimnya gagasan-gagasan baru. Untuk itu, Ubedilah menilai 6 tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk melaksanakan program-program desa. Termasuk untuk mengatasi keterbelahan sosial akibat pilkades dan juga waktu yang sangat lama untuk untuk memerintah desa dengan jumlah penduduk yang rata-rata hanya puluhan ribu. Menurutnya, masalah utamanya bukan soal kurangnya waktu masa jabatan. Melainkan minimnya kemampuan kepemimpinan kades untuk melaksanakan pembangunan desa. Selain itu, minimnya kemampuan kepala desa untuk mengatasi masalah keterbelahan sosial pasca pilkades. Selain itu, Ubedilah juga menepis alasan bila dana pilkades lebih baik diperuntukkan untuk pembangunan. Menurutnya, dana pilkades sudah disiapkan APBN dan sudah dianggarkan sesuai peruntukannya. Dana itu juga tidak menguras APBN dan tak mengganggu uang negara seperti pembangunan kereta cepat dan pembangunan IKN. Sebab, kata dia, angka dana pilkades itu seluruh Indonesia dapat hitung sekitar Rp50 triliun dan itupun pilkades tidak dilakukan serentak. "Masing-masing daerah berbeda-beda waktunya sehingga dananya tidak dubutuhkan dalam waktu yang sama," ungkapnya. Ubedilah pun kembali menegaskan bahwa argumen perpanjangan masa jabatan kepala desa lemah dan merusak demokrasi. Sebab, jabatan publik yang dipilih rakyat dalam demokrasi harus dipergilirkan agar terhindar dari kecenderungan otoriter dan korupsi. "Bayangkan 6 tahun saja sudah ada 686 kepala desa tersangka korupsi, apalagi 9 tahun," ujarnya. Sebelumnya diberitakan, kantor DPR RI didatangi massa aksi yang berdemonstrasi pada Selasa (17/1/2023). Para massa itu merupakan kades dari berbagai daerah. Tuntutan mereka untuk penambahan masa jabatan menjadi sembilan tahun, dikabarkan disepakati oleh Jokowi. Jokowi pun menganggap usulan tersebut masuk akal. (An)