Analis UNJ Sebut Perpanjangan Masa Jabatan Kades Rusak Demokrasi

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 25 Januari 2023 18:50 WIB
Jakarta, MI- Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengkritik usulan agar masa jabatan Kepala Desa (Kades) jadi sembilan tahun. Ubed juga mengkritik sikap politikus PDI Perjuangan (PDI-P) Budiman Sudjatmiko yang lantang bersuara soal perpanjangan masa jabatan kades. Ubed menegaskan, perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun berserta argumen yang dilayangkan Budiman Soejatmiko telah merusak Demokrasi. Ubed menyebut, terdapat dua argumen yang dikemukakan kepala desa dan Budiman Sudjatmiko terkait tuntutan perpanjang masa jabatan kepala desa tersebut. “Pertama kades 6 tahun tidak cukup untuk mengatasi keterbelahan masyarakat desa akibat pilkades sehingga tidak cukup untuk membangun desa. Kedua, dana untuk pilkades lebih baik untuk dana pembangunan sumber daya desa,” kata Ubed, Rabu (25/1/2023). Ubed berpendapat argumen pertama yang dilayangkan soal perpanjangan masa jabatan kades itu tidak dapat dibenarkan. Pasalnya, 6 tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk melaksanakan program-program desa termasuk waktu yang sangat cukup untuk mengatasi keterbelahan sosial akibat pilkades. “Juga waktu yang sangat lama untuk untuk memerintah desa dengan jumlah penduduk yang rata-rata hanya puluhan ribu,” ungkap Ubed. Ubed menilai, problem yang ada ialah bukan soal kurangnya waktu tetapi minimnya kemampuan leadership kades untuk melaksanakan pembangunan desa. Ubed turut menyinggung, minimnya kemampuan kepala desa untuk mengatasi masalah keterbelahan sosial pasca pilkades. “Itu masalah substansinya. Jadi diperpanjang 9 tahun pun jika masalah substansinya tidak diatasi maka Kepala Desa tidak akan mampu jalankan program programnya dengan baik termasuk tidak mampu atasi problem keterbelahan sosial itu. Jadi solusinya bukan perpanjang masa jabatan,” jelas Ubed. Sedangkan argumen kedua, lanjut Ubed, karena dana pilkades lebih baik untuk pembangunan lantaran dana pilkades sudah disiapkan APBN dan sudah dianggarkan sesuai peruntukanya sangat lemah. “Dana itu juga tidak menguras APBN dan tidak mengganggu APBN seperti pembangunan kereta cepat dan pembangunan IKN. Sebab angka dana pilkades itu seluruh Indonesia saya hitung totalnya tidak sampai Rp50 triliun itu pun pilkades tidak dilakukan serentak, masing-masing daerah berbeda-beda waktunya sehingga dananya tidak dibutuhkan dalam waktu yang sama,” ungkap Ubed. Dengan demikian, tegas Ubed, secara argumen perpanjangan masa jabatan kepala desa itu lemah. Bahkan, lebih dari itu secara substantif merusak demokrasi lantaran jabatan publik yang dipilih rakyat dalam demokrasi harus dipergilirkan agar terhindar dari kecenderungan otoritarian dan korup. “Bayangkan 6 tahun saja sudah ada 686 kepala desa tersangka korupsi, apalagi 9 tahun. Selain itu menurut pasal 39 UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan Kepala Desa dapat ikut pilkades selama tiga periode berturut - turut atau tidak berturut-turut. Kalau 9 tahun berarti kepala desa bisa menjabat sampai 27 tahun. Suatu periode yang berpotensi besar menjalankan praktek korupsi,” ungkap Ubed. Ubed pun mengutip, hasil riset dari Lord Acton pada awal abad 20 yang menyimpulkan bahwa power tend to corrupt and absolute power corrupts absolutely atau kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup. “Jabatan 9 tahun hingga berpeluang 27 tahun terlalu lama dan berpotensi besar menjadi absolut. Usulan perpanjang periode menjadi 9 tahun itu ide yang bertentangan dengan demokrasi sebab demokrasi menolak keras kekuasaan yang absolut dan kekuasaan yang tidak dipergilirkan melalui partisipasi rakyat, jadi ide 9 tahun itu merusak demokrasi,” pungkas Ubed.

Topik:

Jabatan kades
Berita Terkait