Rangkap Jabatan ala Menteri-menteri Rezim Jokowi, Uchok: Mereka Ludahi Spirit Reformasi

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 21 Februari 2023 12:32 WIB
Jakarta, MI- Aktivis 98, Uchok Sky Khadafi menilai, spirit Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara kini seolah dikangkangi para menteri atau pembantu Presiden Jokowi. Betapa tidak, lanjut dia, pasal tersebut yang menekankan untuk atau agar para menteri tidak rangkap jabatan, kini pasal tersebut keberadaannya seolah tidak sakral lagi dihadapan para menteri Jokowi utamanya yang menjabat di sejumlah lembaga, organisasi atau institusi lainnya. Tercatat, ada dua pembantu Jokowi yang tak hanya menjabat sebagai menteri tapi kini dua pembantu Jokowi itu menjabat sebagai Ketum dan pengurus PSSI yakni Menteri BUMN, Erick Thohir dan Menpora, Zainudin Amali. "Mereka meludahi spirit Pasal tersebut dan meludahi agenda reformasi. Ini preseden buruk saya kira dalam hal tata kelola Pemerintahan yang baik," tandas Uchok kepada wartawan, Selasa (21/02/2023). Uchok menegaskan, sikap kedua menteri Jokowi itu mengingatkan pada cara-cara pejabat pemerintahan era orde baru. "Bibit-bibit orba ternyata belum punah. Mereka berubah dan menyelinap dalam kekuasaan yang dihasilkan oleh keringat reformasi. Sebagai aktivis yang dulu dengan susah payah meruntuhkan tembok besar orba, jelas saya merasa sedih melihat fenomena hari ini, di mana kejadian masa lalu terulang kembali (pejabat negara seenaknya isi jabatan di mana saja tanpa hiraukan etika)" tegas Uchok. Terakhir, Uchok mendesak agar kedua menteri yang rangkap jabatan untuk dengan sukarela mengundurkan diri dan memilih satu di antara dua jabatan yang ada. "Mundur dan gentleman donk. Masih banyak orang yang berkompeten di negeri ini. Republik ini bukan milik satu dua orang tapi milik semuanya," tegasnya. Sekedar informasi, larangan rangkap jabatan tertuang dalam Pasal 23 UU No 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara. Berikut bunyi Pasal 23 UU no 39 Tahun 2008: "Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) dan/atau anggaran pendapatan belanja daerah (APBD)," demikian bunyi larangannya.
Berita Terkait