Uskup Agung Jakarta: Sejarah Membuktikan Kekuasaan yang Tak Mendengar Kritik Bahayanya Adalah Tumbang

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 6 Februari 2024 19:27 WIB
Uskup Agung Jakarta, Romo Kardinal Ignatius Suharyo [Foto: Wikipedia]
Uskup Agung Jakarta, Romo Kardinal Ignatius Suharyo [Foto: Wikipedia]

Jakarta, MI - Uskup Agung Jakarta Romo Kardinal Ignatius Suharyo, menegaskan bahwa sejarah membuktikan kekuasaan yang tak mendengar kritik bahayanya, adalah tumbang.

Hal itu dia tegaskan, merespons terkait sejumlah akademisi yang mengkritik pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang Pemilu 2024.

Menurut Suharyo, penyampaian sikap politik terhadap penguasa sejatinya telah ada sejak zaman kenabian. Jika sang raja dinilai tidak bagus, lanjut Suharyo, maka muncul nabi-nabi yang menyerukan keadilan. 

Hal itu, kata dia, sama dengan tindakan yang dilakukan oleh akademisi Indonesia, yang prihatin atas kondisi demokrasi Indonesia saat ini.

"Dalam sejarah itu selalu ada kerajaan. Maka ketika ada institusi kerajaan, pada waktu itu raja-raja tidak bagus, munculah nabi-nabi. Itulah yang menyerukan kebenaran, keadilan," kata Suharyo, usai menyampaikan seruan terkait Pemilu 2024 di Grha Oikoumene, Salemba, Jakarta Pusat, Senin (5/2). 

Ia pun menilai, setiap zaman pasti berjalan seperti itu. Jika para akademisi menyerukan kritik terkait moral, kata Suharyo, maka institusi yang memegang kekuasaan harus mendengarkan. 

"Kalau tidak didengarkan dalam sejarah juga jelas, ketika kekuasaan tidak mendengarkan kritik-kritik bahanyanya adalah tumbang. Bukan hanya di Indonesia, tetapi di mana pun akan terjadi," jelasnya.

Dalam sejarah umat kristiani, kata Suharyo, kerajaan disamakan dengan kekuasaan. "Dan kita semua tahu kekuasaan itu berbahaya kalau tidak dijalankan dengan baik," tandasnya. 

Sementara, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Marsudi Syuhud dalam kesempatan yang sama, mengatakan kritik yang disampaikan sejumlah sivitas akademika, bukan untuk merobohkan melainkan membangun Indonesia yang lebih baik.

Menurutnya, kritik merupakan hal yang biasa dan merupakan vitamin yang menyehatkan demokrasi.

"Atas kritik yang banyak, kritik itu membangun, kritik itu bukan merobohkan, tapi untuk memperkuat, untuk membangun," kata Marsudi.

"Kritik itu biasa, karena kritik itu adalah vitamin. Kalau vitaminnya pas, itu akan menyehatkan bangsa ini, akan menyehatkan demokrasi ini," ujarnya.

Sebelumnya, sivitas akademika sejumlah kampus seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Andalas (Unand), hingga Asosisasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK), bersuara karena resah dengan situasi kebangsaan, khususnya pelaksanaan demokrasi di Tanah Air belakangan ini.