Hacker Lumpuhkan Pusat Data Diduga Kecemburuan Politik saat Jokowi Tunjuk Budi Arie Menkominfo

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 6 Juli 2024 01:28 WIB
Menkominfo, Budi Arie Setiadi (Foto: Ist)
Menkominfo, Budi Arie Setiadi (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansah menyatakan bahwa aspek kecakapan seorang pejabat yang membidangi kementerian teknis, seperti Komunikasi dan Informatika (Kominfo), seharusnya menjadi pertimbangan utama.

Hal itu dia katakan merespons desakan mundur Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi usai kasus peretasan di Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 Surabaya bulan Juni. 

“Menteri itu harusnya pembantu yang punya profesional,” ujar Trubus di Jakarta, Jumat (5/7/2024).

Latar belakang Budi sebagai Ketua Relawan Pro Jokowi (Projo), membuat sistematika kerja di Kominfo diduga menabrak prosedur. Semua didasarkan atas kepentingan politik.

“Sangat politis sekali dia, mengamankan diri, jadi termasuk persoalan data, juga dia nggak peduli dengan nanti (data) bocor, entah itu kemudian menjadi apa. Nggak ada kepikiran ke sana," katanya.

Peluang hacker melumpuhkan pusat data patut diduga terjadi karena kecemburuan politik saat Presiden Jokowi menunjuk Budi Arie sebagai menteri. Dugaan kedua adalah adanya kerja sama dengan ‘orang dalam’ untuk memberi informasi celah akses di PDN.

“Naiknya Budi Arie kan ini penuh dengan kecemburuan politik kan sebetulnya, iyalah karena mau seseorang relawan jadi menteri. Itu kan di masa Jokowi,” tegasnya.

Trubus menduga berat untuk Jokowi menggeser posisi Budi Arie sebagai Kominfo. Selain usia pemerintahannya tinggal beberapa bulan sebelum pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih, Budi Arie punya peran besar terhadap panggung politik Jokowi.

“Dalam arti memang dialah (Budi Arie) tulang punggungnya di lapangan yang selama ini dianggap sukses mengangkat Pak Jokowi, termasuk keluarganya, termasuk Gibran yang sekarang,” jelas Trubus.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio mempercayai bahwa Budi Arie tidak akan mundur, terlebih sudah menjadi rahasia umum Menteri Kominfo adalah orangnya Presiden Jokowi.

“Dia (Budi Arie) kan merasa dilindungi Jokowi. Ya nanti tunggu saja kalau sampai ganti.    dia tersangkut atau nggak, sampai ganti presiden, kalau sekarang nggak mungkin lah dia orangnya Jokowi,” terang Agus.

Imbas lumpuhnya server di PDNS 2 Surabaya terjadi pada 20 Juni 2024, melumpuhkan layanan publik 282 instansi pemerintah, dari pusat hingga daerah. 44 layanan bisa dilakukan pemulihan (recovery) karena memiliki backup database, sisanya 238 tanpa backup apapun.

Wakil Menteri Kominfo Nezar Patria menyebut database dari 200 lebih instansi yang tersimpan di PNDS kala itu terus dimonitor oleh tim. “InsyaAllah sebagian besar tidak terlalu berdampak, kita berharap pemulihannya bisa lebih cepat,” tutur dia sesaat peretasan terjadi.

Kemudian pada Rabu (3/7/2024), hacker Brain Cipher Ransomware menepati janji memberikan kunci akses atas file yang sebelumnya dienkripsi.

Dirjen Aptika Semuel Abrijani Pangerapan, yang telah mengumumkan pengunduran diri pada Kamis, bilang Kominfo telah mendapatkan kunci tapi  belum bisa memastikan apakah PDN bisa pulih segera atau tidak.

“Data-data yang dikunci itu banyak, jadi saya masih belum tahu itu prosesnya bagaimana," terang Semuel, dan per hari ini menolak memberi penjelasan lanjutan karena bukan lagi menjadi kewenangan dia.

Pada keterangan BSSN sebelumnya hanya dinyatakan terjadi serangan ransomware Brain Cipher, yang merupakan hasil pengembangan LockBit 3.0. Namun menurut informasi yang didapat Pratama Persadha, praktisi keamanan siber dan Chairman CISSReC, Jumat sore, grup peretas menanamkan dua ransomware pada PNDS secara bersamaan.

"Sehingga seharusnya diperlukan dua decryptor yang berbeda supaya semua data yang terserang ransomware bisa dibuka dan dipergunakan kembali," ulas Pratama.

Pratama menyatakan mungkin saja terjadi bahwa Brain Cipher mengumumkan membagikan kunci secara gratis namun sejatinya telah terjadi transaksi penebusan seperti banyak spekulasi beredar.

"Namun jika hal tersebut betul-betul dilakukan oleh pemerintah maka kondisi keamanan siber kita akan semakin rawan, karena peretas mengetahui bahwa kita bersedia membayarkan tebusan dan akan terus-menerus kembali berusaha menyerang untuk mendapatkan tebusan-tebusan selanjutnya, yang akhirnya pemerintah hanya menjadi sapi perah dari para peretas tersebut."