Pasal Power Wheeling dalam RUU EBET Dianggap Bahayakan Kedaulatan Energi Nasional

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 12 Juli 2024 15:18 WIB
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto (Foto: Ist)
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS, Mulyanto, mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) masih berlangsung alot, terutama terkait dengan pasal power wheeling. 

Sehingga, kata Mulyanto RUU tersebut belum disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI penutupan Masa Sidang V, kemarin. 

"Wong rapat timus-timsin (tim perumus dan tim sinkronisasi) saja ditunda. Jadi belum masuk dalam tahap pengambilan keputusan tingkat I di Rapat Pleno Komisi VII," kata Mulyanto dalam keterangannya, Jumat (12/7/2024). 

Mulyanto yang juga Anggota Panja RUU EBET itu mengaku pesimistis bahwa RUU tersebut dapat diselesaikan oleh DPR RI Periode 2019-2024. "Karena pembahasan substansinya masih Panjang," ucapnya.

Lebih lanjut, terkait aturan Power Wheeling, di mana Fraksi PKS kata dia, menolak dimasukannya aturan tersebut dalam RUU EBET.

Sebab menurutnya, power wheeling atau penggunaan bersama jaringan transmisi kepada pihak ketiga adalah istilah yang dapat membuat missed leading. 

Power wheeling merujuk kepada mekanisme yang memperbolehkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung terhadap masyarakat melalui jaringan transmisi PLN.

"Entah ini merupakan upaya sengaja untuk menyembunyikan/mengaburkan inti dari masalah atau sekadar latah mengambil istilah asing yang sebenarnya tidak lugas menggambarkan hakekat persoalan yang sesungguhnya kita hadapi," jelasnya. 

Oleh karena itu, menurutnya, pasal ini bukan sekadar mengatur soal sewa jaringan transmisi PLN oleh pihak swasta, namun implikasi yang berbahaya adalah dimungkinkannya pihak pembangkit listrik swasta untuk menjual listrik secara langsung kepada pengguna listrik dengan mengambil peran PLN.

"Ini adalah prinsip monopoli negara atas sektor kelistrikan sebagai amanat konstitusi agar listrik tidak dikuasai orang-perorang, yang akhirnya harganya ditentukan oleh mekanisme pasar. Menjadikan pihak swasta dapat menjual listrik yang diproduksinya secara langsung kepada masyarakat, jelas-jelas adalah liberalisasi sektor kelistrikan," pungkasnya.