Terseret Korupsi CSR BI, Gubernur BI Perry Warjiyo Terbidik Lewat Tatib DPR?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 18 Februari 2025 16:04 WIB
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan salam kepada para anggota DPR usai pihak DPR RI menyetujui Perry Warjiyo menjabat kembali sebagai Gubernur BI periode 2023-2028 dalam Sidang Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/3/2023)
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan salam kepada para anggota DPR usai pihak DPR RI menyetujui Perry Warjiyo menjabat kembali sebagai Gubernur BI periode 2023-2028 dalam Sidang Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/3/2023)

Jakarta, MI - Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo merupakan salah satu penjabat penting dalam lembaga keuangan negara saat ini. Kini, dirinya menjadi sorotan karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menggeledah ruang kerjanya di kantor BI terkait dugaan korupsi dana corporate social responsibility (CSR) BI.

Perry mulai menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia sejak tahun 2018-2023. Kemudian, kembali terpilih dan melanjutkan tugas menjadi Gubernur BI untuk periode tahun 2023-2028. Posisi tersebut merupakan penunjukan langsung dari Presiden Jokowi.

Pada rapat Paripurna DPR RI, tanggal 4 Februari 2025 telah mengesahkan revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR RI. Pendek kata, DPR kini memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang sebelumnya telah melewati proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR.

Lebih jelas, revisi “terburu-buru” ini memberi DPR ruang untuk meninjau kembali kinerja pejabat negara yang telah mereka tetapkan dalam rapat paripurna. Jika dalam evaluasi ditemukan kinerja yang tidak memenuhi harapan, DPR dapat memberikan rekomendasi pemberhentian (pasal 228A). Bisa dicopot di tengah jalan.

Adapu pejabat negara yang bisa dicopot di tengah jalan oleh DPR adalah Komisioner, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA), Kapolri dan Panglima TNI. Juga, Gubernur BI dan para deputinya dan tentu Ketua OJK, Komisioner LPS. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Semua Lembaga yang pernah dilakukan fit & proper test, termasuk badan supervisi OJK, LPS dan BI. Semua bisa dikoreksi oleh DPR. Sebagaimana kabar yang beredar, sudah ada lebih dari 300 pejabat negara yang sudah diseleksi oleh DPR.

Badiul Hadi selaku Manager Riset di Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Selasa (18/2/2025) siang, sedikit berkomentar soal apakah DPR bisa mengevaluasi Perry Warjiyo berujung pencopotan usai adanya Tatib DPR itu.

Menurut Badiul, kewenangan melakukan evaluasi dalam revisi Tatib meningkatkan posisi tawar DPR sehingga bisa membuka ruang penyalahgunaan wewenang.  Misalnya jika ada keterlibatan anggota DPR dalam sebuah kasus, aturan ini dapat dijadikan ‘ancaman’ kepada pejabat negara untuk tidak melakukan pengusutan. 

Atau menciptakan celah korupsi karena dijadikan tawar menawar dan lobi-lobi untuk mendapatkan proyek dan sebagainya. "Tapi kan perlu dicatat bahwa dalam banyak kasus, keterlibatan anggota DPR dalam lobi-lobi semacam ini sulit dibuktikan secara hukum, meskipun isu atau indikasinya sering muncul dalam laporan media dan investigasi lembaga independen," katanya.

Di lain itu, melihat kata ‘pengawasan’ dan ‘evaluasi’ saja yang terdapat dalam revisi Tatib itu, publik dengan mudah menafsirkan adanya kewenangan DPR yang sangat besar terhadap para pejabat itu. 

DPR bisa memberikan evaluasi dan itu berarti memberikan rekomendasi kepada presiden untuk mengganti para pejabat negara yang dipilih dari hasil uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) DPR. 

Artinya DPR tidak bisa mencopot jabatannya tetapi tentu saja hasil evaluasi itu akan menjadi tekanan terhadap Presiden untuk menggantinya.

Meski, revisi tatib DPR RI itu tidak serta merta dapat mencopot orang nomor satu di Bank Indonesia itu, namun jika Perry Warjiyo tetap tidak bisa mengendalikan kurs rupiah dan terlibat dalam dugaan rasuah itu, maka tidak ada alasan lagi untuk tidak segera diganti.

"Sangat penting komisi XI DPR untuk memanggil jajaran BI terkait nilai tukar rupiah dan pengelolaan CSR. Jika dugaan keterlibatan Gubernur terbukti dalam kasus korupsi CSR BI maka harus diganti," kata Badiul.

Setidaknya dalam kurun waktu dia tahun terakhir nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami fluktuasi dengan tren pelemahan. Situasi ini memiliki efek domino ke berbagai sektor seperti inflasi dan investasi. 

Pada Oktober 2023 Rupiah mengalami pelemahan diangka Rp15,706 per Dolar AS. Pelemahan itu berlanjut pada tahun berikutnya (2024), pada periode April 2024 rupiah semakin terdepresiasi hingga Rp16,263 per Dolar AS, bahkan di akhir 19 Desember tahun 2024 rupiah semakin terpuruk diangka Rp16.422 per Dolar AS.

Keterpurukan rupiah tidak kunjung usai, seolah rupiah sulit bangkit dari keterpurukan, hari ini (18/2/2025) BI dolar masih menguat di angka Rp16.289 per Dolar AS. 

"Dengan kondisi ketidakpastian saat ini, banyak pihak memprediksi pelemahan rupiah akan terus terjadi bahkan menyentuh angka Rp.17.000 per Dolar AS," jelasnya.

Menurut dia, hal ini menjadi tantangan berat bagi BI yang memiliki fungsi dan tugas menjaga  stabilitas nilai tukar rupiah. "Dengan perjalanan pelemahan rupiah, sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi secara menyeluruh atas kinerja BI. reformasi birokrasi BI harus dijalankan, untuk mengoptimalkan kinerja BI," ungkapnya.

"Dan tidak kalah penting perlu ada audit investigasi pengelolaan CSR BI dan mendorong KPK agar lebih progresif dalam penanganan dugaan korupsi, untuk membongkar pihak-pihak yang terlibat baik internal dan eksternal BI," imbuh Badiul mengakhiri perbincangannya.

Menyoal korupsi CSR BI, KPK memastikan akan memanggil, Perry Warjiyo, untuk menjalani pemeriksaan usai ruang kerjanya digeledah dan ditemukan barang bukti dalam kasus dugaan korupsi itu.

"Ya pasti (Gubernur BI Perry Warjiyo akan dipanggil). Mekanisme di penindakan ini setiap barang yang kita amankan, kita sita dari tempat kita geledah pasti kita akan konfirmasikan," kata Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Rudi Setiawan, kepada wartawan di Gedung Juang pada Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (17/12/2024) lalu.

Rudi menjelaskan, dari penggeledahan di kantor BI pada Senin malam, 16 Desember 2024, salah satu ruangan yang digeledah adalah ruang kerja Gubernur BI Perry Warjiyo. "Beberapa dokumen kita temukan, beberapa barang-barang alat bukti elektronik kita juga amankan, dokumen terkait berapa besaran CSR-nya, siapa-siapa yang menerima dan sebagainya, tentunya itu yang kita cari," jelas Rudi.

Rudi menambahkan, dalam perkara dugaan korupsi CSR BI ini, pihaknya sudah menetapkan 2 orang tersangka. "Tersangka yang terkait perkara ini ada, kita dari beberapa bulan yang lalu telah menetapkan dua orang tersangka yang diduga memperoleh sejumlah dana yang berasal dari CSR-nya Bank Indonesia," terang Rudi.

Namun demikian, Rudi belum mengungkapkan identitas dua tersangka dimaksud.  "Itu CSR-nya BI banyak ya (kerugian negaranya), cukup besar ya untuk CSR-nya Bank Indonesia. Nanti tanyakan sama BI lah," pungkas Rudi.

Namun demikian, Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika meluruskan bahwa dalam perkara tersebut belum ada pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka. Mengingat, KPK menggunakan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Umum. "Sprindik Umum, jadi belum ada tersangka," jelas Tessa.

Berdasarkan informasi yang diperoleh redaksi, 2 orang yang dimaksud Rudi itu diduga berstatus calon tersangka dalam perkara ini. Sebelumnya, Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan, KPK saat ini sedang mengusut perkara dugaan korupsi terkait penggunaan dana CSR BI.

"Jadi begini, perusahaan memberikan CSR yang digunakan untuk tadi, ada misalkan kegiatan-kegiatan sosial, misalnya membangun rumah, tempat ibadah, bangun fasilitas yang lainnya, jalan, jembatan, dan lain-lainnya. Kalau itu digunakan sesuai dengan peruntukannya, tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika dana CSR itu tidak digunakan sesuai dengan peruntukannya," papar Asep kepada wartawan, Rabu, 18 September 2024.

Misalnya, tersedia dana CSR sebesar Rp1 miliar, namun yang digunakan hanya Rp500 juta. "Dan ini digunakan misalkan untuk kepentingan pribadi. Nah itu yang menjadi masalah. Kalau itu digunakan misalkan yang tadinya untuk bikin rumah ya bikin rumah, bangun jalan ya bangun jalan, ya itu enggak jadi masalah," pungkas Asep. 

Sekadar catatan,  bahwa jika tata tertib DPR yang diberlakukan kepada pihak lain, maka dapat disebut tatanan trias politika seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif sepertinya sudah tinggal fatamorgana. Indonesia tidak lagi mengenal supremasi hukum, tapi tampaknya supremasi politik. Kita bisa merasakan supremasi politik telah menimbulkan banyak “gegar otak” pada tatanan kenegaraan yang diamanatkan dalam UUD 1945.

(wan)

Topik:

Korupsi CSR BI Gubernur BI Perry Warjiyo Tatib DPR KPK