SBY: Politik Bebas Aktif Bukan Berarti Diam, Indonesia Harus Siap Hadapi Gejolak Dunia

Rizal Siregar
Rizal Siregar
Diperbarui 13 April 2025 20:01 WIB
Ketua The Yudhoyono Institute (TYI), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat beberkan sikap politik luar negeri Indonesia. (Foto. Rizal)
Ketua The Yudhoyono Institute (TYI), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat beberkan sikap politik luar negeri Indonesia. (Foto. Rizal)


Jakarta, MI -  Ketua The Yudhoyono Institute (TYI), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menegaskan bahwa sikap politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif bukan berarti bersikap pasif terhadap dinamika global yang terus berkembang pesat. 

Presiden RI ke-6 menyampaikan hal ini dalam diskusi publik bertajuk "Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan, dan Ekonomi Global" yang digelar TYI pada Minggu (13/4/2025).

"Indonesia memang harus bergerak cepat, tapi juga siap-siap untuk berlari jauh," kata SBY.

Ia menekankan bahwa dalam situasi dunia yang penuh gejolak, baik dari sisi ekonomi, geopolitik, maupun keamanan internasional—Indonesia tidak boleh hanya bersiap dalam diam.

Menurut SBY, Perang besar bisa saja pecah di berbagai kawasan strategis dunia seperti Asia Timur, Timur Tengah, hingga Eropa. 

“Saya membaca novel fiksi militer karya mantan admiral. Satu menggambarkan perang besar di Asia tahun 2034, satu lagi tentang konflik global tahun 2054. Meski fiksi, namun narasi itu realistis karena menggambarkan potensi salah perhitungan dan insiden di lapangan yang bisa memicu perang sungguhan,” ujar SBY.

Ia mengingatkan bahwa jika dunia terus memanas tanpa ada upaya mencegah konflik, maka kemungkinan bencana global akan makin nyata. 

“Saya yakin, jika yang terburuk datang, Indonesia harus sudah siap. Menurut saya, kita tidak hanya perlu prepare, tapi lebih dari itu—kita harus say something, do something, and be part of the solution,” tambahnya.

SBY menilai bahwa sebagai negara dengan posisi middle power, Indonesia punya kapasitas untuk berkontribusi secara konstruktif di level regional maupun global, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun keamanan. 

"Saya tahu, sebagai mantan jenderal TNI selama 30 tahun, seberapa rentan kawasan kita terhadap konflik besar,” ujarnya.

Ia menyebut bahwa dunia masih memiliki sumber daya dan peluang untuk mencegah perang global, termasuk di kawasan Asia Pasifik yang menjadi lingkungan strategis bagi Indonesia. “Can be avoided, can be prevented. Indonesia harus bisa menjadi bagian dari upaya mencegah konflik, bukan hanya penonton,” tegasnya.

Selain geopolitik, SBY juga mengingatkan soal ancaman krisis ekonomi global. Ia mengacu pada pengalamannya mengikuti KTT G20 saat krisis keuangan global 2008–2009. 
“Dulu kami berdebat soal mana yang lebih penting: reformasi sistem keuangan atau menghentikan krisis dulu. Saya bilang, kenapa tidak dua-duanya?” kenang SBY.

Menurutnya, goncangan ekonomi global yang disebabkan oleh perang dagang, tarif tinggi, atau krisis utang bisa berdampak luas terhadap negara-negara berkembang. 

“Kalau pertumbuhan ekonomi global melemah, pengangguran meningkat, inflasi melonjak, dan krisis utang terjadi, maka yang paling menderita adalah negara-negara miskin,” jelasnya.

Ia kembali menegaskan pentingnya peran aktif Indonesia. “Mengapa tidak, kita ikut menjadi bagian dari solusi. Say something, do something, untuk menyelamatkan ekonomi dunia,” ujar SBY.

Dalam pandangannya, perhatian dunia yang terlalu tersita oleh konflik dan rivalitas kekuatan besar juga membuat isu-isu global lain terbengkalai, seperti perubahan iklim, kemiskinan, dan ketimpangan. “Ini bukan lagi climate change, tapi sudah climate crisis. Dunia tidak boleh terus mengabaikan kewajiban kolektif untuk menyelamatkan bumi,” kata SBY.

Ia juga menyoroti pentingnya reformasi dalam tata kelola kawasan seperti ASEAN. Menurutnya, prinsip non-intervensi tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan nilai-nilai demokrasi, HAM, dan supremasi hukum. “ASEAN harus lebih rules-based dan memiliki proses pengambilan keputusan yang lebih terstruktur,” jelasnya.

SBY mengakhiri pidatonya dengan refleksi terhadap ketidakpastian global yang kian kompleks, termasuk kemungkinan perubahan tatanan dunia pasca-Perang Dingin. “Apakah ini hanya musiman atau awal dari berakhirnya world order? Mudah-mudahan tidak. Tapi jika memang akan ada perubahan besar, semoga bukan dalam bentuk kekacauan berkepanjangan,” katanya.

Ia menambahkan bahwa Indonesia harus tetap realistis namun terbuka terhadap kerjasama internasional. “Saya memang condong ke realisme. Tapi bukan berarti kita menolak idealisme dan multilateralisme. Dunia tetap perlu kerjasama untuk menyelesaikan persoalan global,” tegas SBY.

Terakhir, ia menyampaikan terima kasih kepada para peserta diskusi, termasuk duta besar negara sahabat, anggota parlemen, akademisi, mahasiswa, dan komunitas pertahanan yang hadir. “Forum seperti ini menjadi cikal bakal kepedulian kita terhadap masa depan dunia,” pungkasnya. ***

Topik:

Politik SBY Geopolitik Ekonomi Global