Korupsi BPKP dan BPK yang Semestinya Mengawasi dan Memeriksa, Indikasi Tak Adanya Transparansi

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 27 Mei 2024 15:40 WIB
Andre Vincent Wenas Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta (Foto: Dok MI)
Andre Vincent Wenas Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Konteksnya BPKP adalah pengawasan, sedangkan BPK konteksnya pemeriksaan atau periksa ulang. BPKP merupakan auditor internal dari pemerintah, sedangkan BPK merupakan auditor eksternal. Begitulah pembagian peran kedua instansi auditor keuangan negara ini. 

Lengkap sudah, pengawasan internal oleh BPKP dan pemeriksaan eksternal oleh BPK. Tapi apakah dengan begitu korupsinya bisa hilang? Sayang sekali ternyata tidak!  

Ambil contoh yang baru-baru ini terjadi di kasus korupsi jalan tol MBZ. Akhirnya terungkap dalam persidangan bahwa korupsi di proyek jalan tol MBZ itu malahan akibat oknum BPK yang bikin gara-gara sebagai sebagai pihak yang justru minta duit. Ya mereka dikatakan minta disediakan sepuluh miliar lebih. 

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang seyogianya mengaudit apakah ada temuan, artinya penyimpangan dalam pencatatan laporan keuangan malahan merekayasa apa yang semestinya dilaporkan agar bisa mengutil duit demi kenikmatannya sendiri. 

"'Tolong disediain di (proyek tol) Japek ini ada keperluan untuk BPK Rp10,5 M, Rp 10 M-an lah, pak," begitu pengakuan dari Sugiharto, Direktur Operasional Waskita Beton Precast. 

Untuk “keperluan” apa? Hanya sang oknum BPK dan setanlah yang tahu.  Ceritanya permintaan duit ini lantaran BPK menemukan banyak banget “temuan” dalam proyek pembangunan Jalan Tol MBZ. Nah, demi memenuhi permintaan itu direkayasalah sejumlah proyek fiktif. Apa pekerjaan fiktifnya?

Padahal pekerjaan sudah seratus persen kelar, maka dirancanglah, pekerjaan fiktifnya nilainya sekitar Rp 10,5 miliar. Katanya hanya untuk keperluan pemeliharaan (maintenance), hanya patching-patching (menambal) saja. Dan itu menurut Sugiharto kecil-kecilan saja.

Nilainya kecil “hanya Rp 10,5 miliar” katanya. Ya ampun pekerjaan fiktif senilai sepuluh miliar dibilang kecil. Ternyata besar-kecilnya nilai korupsi itu semakin relatif. Kegiatannya pun hanya “patching-patching” (menambal). 

Apakah benar atau bohongan ya walahuallam. Jadi kerja riilnya belum tentu ada, artinya “no-maintenance at all” senilai sepuluh miliar lebih. Karena anggarannya bodong maka selama ini jalan tol MBZ itu diminta untuk merawat (maintenance) dirinya sendiri. Ajaib!

Artinya dana sepuluh miliar lebih sudah keluar dan kegiatan menambal itu belum tentu ada. Tidak jelas, dan memang atas seuatu yang tidak jelas adalh habitat korupsi untuk merajalela. 

Korupsi di Kementan (Kementerian Pertanian) yang menyeret Mentan Syahrul Yasin Limpo ternyata menyeret pula Ketua KPK Firli Bahuri. KPK yang semestinya memberantas korupsi malah terindikasi minta uang miliaran pada sang tertuduh korupsi. 

Apa yang dilakukan oleh Syahrul Yasin Limpo sudah amat sangat memalukan, ya karena korupsinya minta ampun memalukannya. Mulai urusan salon keluarga sampai urusan konsumsi pribadi yang macam-macam. Semua terlalu menjijikan untuk dipaparkan di sini.

Kasus korupsi lainnya yang terungkap baru-baru ini memang benar-benar memalukan. Di skandal BTS-nya Kominfo, mantan Menteri Johny Plate dan semua pihak yang telah diperiksa Kejagung sudah berceloteh, tapi apakah pihak-pihak terkait yang semestinya ikut diperiksa sudah menjalankan kewajiban hukumnya? 

Pileg dan Pilpres sudah usai, apakah oknum-oknum parpol yang diindikasi terlibat dalam skandal sangat memalukan itu sudah diperiksa? Sekedar mengingatkan, skala proyek BTS ini sekitar 10 triliun, lalu dikorupsi 8 triliun. Itu artinya 80 persennya raib. 

Dari dari korupsi 8 triliun itu baru terungkap sekitar 1 triliun, yang 7 triliun kabarnya belum dijelaskan kemana.  

Atau adakah parpol (oknum parpol) yang terlihat? Adakah famili dari oknum petinggi parpol yang terlibat? Mega korupsi atau korupsi dengan skala sedemikian gedenya katanya senantiasa melibatkan sentra-sentra kekuatan politik. 

Apakah ada tendensi korupsi atas kasus korupsi? Ya, korupsi di atas kasus korupsi. Walahuallam. Kita lihat saja perkembangan kasusnya. Seperti kata Koffi Annan “If corruption is a disease, transparencies is essential part of its treatment.”  Siapa yang berani dengan transparansi? 

Kalau kita anggap korupsi itu seperti penyakit kotor yang menjijikan, maka kejernihan atau transparansi adalah pengobatannya.  Obatnya sederhana sebetulnya, tapi siapa yang berani dengan transparasi? Berani terbuka, lantaran tak ada yang perlu disembunyikan.

[Andre Vincent Wenas Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta]

 

Topik:

BPK BPKP KPK