Bukan Blunder Politik Bagi Nasdem, PKS, dan PKB jika Tak Usung Anies di Pilkada Jakarta

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 19 Agustus 2024 2 jam yang lalu
Sugiyanto Emik (Foto: Dok MI)
Sugiyanto Emik (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Beberapa hari lalu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyampaikan kepada publik bahwa tenggat waktu 4 Agustus 2024 yang diberikan kepada Anies Baswedan untuk memperoleh dukungan tambahan di Pilkada Jakarta telah berakhir.

Dengan modal 18 kursi, PKS awalnya mengusung Anies bersama Sohibul Iman sebagai pasangan calon dan meminta Anies mencari tambahan 4 kursi agar memenuhi 22 kursi DPRD DKI Jakarta yang dibutuhkan. Namun, Anies dianggap gagal memenuhi tugas tersebut.

Situasi ini dapat diartikan oleh publik sebagai sinyal bahwa PKS tidak lagi mendukung Anies Baswedan di Pilkada DKI Jakarta 2024 dan memilih menentukan jalannya sendiri. PKS kemungkinan besar akan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, yang terdiri dari Partai Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, dan lainnya.

Sejalan dengan PKS, Partai Nasdem yang semula memberikan indikasi akan mengusung Anies di Pilkada Jakarta 2024 juga menunjukkan sikap serupa. Melalui pernyataan Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh (SP), ditegaskan bahwa Pilkada Jakarta bukan waktunya untuk Anies Baswedan. Ini artinya, Nasdem tidak akan mendukung Anies Baswedan pada Pilkada Jakarta 2024. Pertemuan SP dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto adalah pertanda Nasdem akan bergabung dengan KIM plus. 

Serupa dengan PKS dan Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pun sama. Lewat pernyataan Ketua Umum Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, diketahui bahwa partai yang identik dengan NU ini bergabung dengan koalisi pendukung Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Bahkan, Cak Imin menyebut bahwa dukungan tersebut sudah dibahas sejak putusan MK atas hasil Pilpres 2024. Artinya, PKB juga ada dalam barisan KIM Plus. 

Dalam konteks ini, bukankah blunder politik yang dapat menimbulkan dampak politik bagi Nasdem, PKS, dan PKB jika tidak mengusung Anies Rasyid Baswedan sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada November 2024. Ketiga partai ini telah memberikan dukungan penuh dengan mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden (Capres) pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 14 Februari 2024 lalu.

Pada Pilpres yang lalu, koalisi Nasdem, PKS, dan PKB secara tegas menyatakan dukungan penuh mereka terhadap Anies Baswedan sebagai Capres. Dukungan ini merupakan bentuk komitmen dan penghargaan tertinggi yang diberikan kepada Anies Baswedan, menunjukkan bahwa ketiga partai ini menilai Anies sebagai sosok yang mampu memimpin negara ini di tingkat nasional.

Oleh karena itu, jika ketiga partai tersebut memutuskan untuk tidak mengusung Anies sebagai Cagub DKI Jakarta, hal ini tidak dapat dianggap sebagai pengkhianatan. Dalam konteks politik yang dinamis, setiap partai memiliki strategi dan kalkulasi tersendiri yang harus diperhitungkan.

Keputusan untuk mengusung atau tidak mengusung seorang kandidat sering kali didasarkan pada berbagai pertimbangan, termasuk potensi kemenangan, dukungan masyarakat, serta aliansi politik yang ada.

alam hal ini, Nasdem, PKS, dan PKB memiliki hak penuh untuk menentukan strategi politik mereka demi kepentingan partai dan konstituen mereka.

Lebih jauh lagi, dengan telah memberikan dukungan penuh sebagai Capres, ketiga partai ini telah menunjukkan komitmen dan dukungan mereka kepada Anies Baswedan dalam skala yang lebih besar dan penting.

Pilpres memiliki dampak yang jauh lebih luas dan signifikan dibandingkan dengan Pilkada, sehingga dukungan tersebut sudah mencerminkan penghargaan tertinggi terhadap kapabilitas dan visi Anies Baswedan.

Oleh karena itu, bukanlah blunder politik bagi Nasdem, PKS, dan PKB jika memutuskan untuk tidak mengusung Anies Baswedan sebagai Cagub DKI Jakarta pada Pilkada 2024. Dukungan mereka sebagai Capres pada Pilpres 2024 sudah menjadi bukti nyata komitmen dan kepercayaan terhadap Anies, dan keputusan apapun terkait Pilkada DKI Jakarta seharusnya dipandang dalam konteks strategi politik yang lebih luas dan kompleks.

[Sugiyanto Emik - Pengamat Kebijakan Publik]