Korupsi Pertamina Patra Niaga Jerat Anak Joedo Sumbono, Akankah Sejarah Berulang?

Firmansyah Nugroho
Firmansyah Nugroho
Diperbarui 5 Maret 2025 11:49 WIB
Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo (Foto: Dok MI/Aswan)
Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Kasus dugaan korupsi di PT Pertamina Patra Niaga (PPN) yang menyeret Gading Ramadhan Joedo membuktikan bahwa mafia minyak di Indonesia masih memiliki akar yang kuat. 

Dengan latar belakang keluarganya yang dekat dengan jaringan bisnis lama, dugaan keterlibatannya semakin memperkuat narasi bahwa sistem lama masih beroperasi di balik layar. Mengapa demikian?

Bahwa ayahnya bernama Joedo Sumbono, mantan Direktur Utama Pertamina pada tahun 1981–1984. Sebelum terjun di sektor energi, Joedo Sumbono sempat berkarir di militer dengan pangkat Mayor yang tentunya memiliki pengaruh kuat.

Namanya mulai dikenal luas saat menjabat sebagai Kepala Humas PN Permina, cikal bakal Pertamina, di bawah kepemimpinan Ibnu Sutowo. Saat itu, Ibnu Sutowo dikenal sebagai tokoh utama dalam pembangunan industri perminyakan Indonesia.

Namun, kebijakan dan pengelolaan yang ia terapkan membuat Pertamina terjerat utang besar. Setelah Ibnu Sutowo lengser pada 1976, kepemimpinan Pertamina sempat berganti hingga akhirnya Joedo Sumbono didapuk menjadi Direktur Utama pada 1981.

Joedo Sumbono pun menggantikan Piet Haryono. Masa kepemimpinannya menjadi transisi yang krusial setelah skandal besar yang mengguncang Pertamina.

Salah satu momen penting dalam kepemimpinannya adalah penandatanganan kontrak penjualan LNG Arun ke Jepang pada 27 April 1981, di mana ia bahkan mengundang Ibnu Sutowo untuk hadir dalam acara tersebut. 

Langkah ini menimbulkan spekulasi bahwa Judo Sumbono tetap memiliki hubungan erat dengan Ibnu Sutowo, meskipun sang mentor telah tersingkir dari kursi kekuasaan. Loyalitas ini menjadi tanda tanya, terutama terkait keberlanjutan sistem lama yang dibangun Ibnu Sutowo dalam tubuh Pertamina.

Setelah tak di Pertamina lagi, Joedo Sumbono tetap aktif di dunia bisnis. Namanya pun dikaitkan dengan berbagai jaringan perusahaan yang bergerak di sektor energi dan maritim. Salah satu warisan pengaruhnya adalah keberadaan Gading Ramadhan Joedo di lingkaran bisnis Pertamina.

Bahwa Gading rupanya tidak hanya memiliki jabatan strategis sebagai Komisaris di PT Jengga Maritim, tetapi juga sebagai Direktur PT Orbit Terminal Merak. Kedua perusahaan ini diketahui memiliki keterkaitan dengan bisnis perkapalan dan pengelolaan minyak yang bersinggungan langsung dengan Pertamina.

Sementara dalam penyelidikan Kejaksaan Agung kasus di Pertamina Patra Niaga itu, ditemukan adanya indikasi penyalahgunaan wewenang serta manipulasi kontrak pengadaan minyak. Nama Gading muncul sebagai salah satu pihak yang diduga terlibat dalam praktik ilegal tersebut, mengingat posisinya yang strategis di dua perusahaan yang berkaitan erat dengan distribusi dan pengolahan minyak.

Pengungkapan kasus ini pun kembali membuka wacana mengenai keberadaan mafia minyak yang masih bercokol dalam tubuh Pertamina. Sejarah panjang hubungan bisnis antara Gading dan berbagai tokoh lama di industri energi menimbulkan spekulasi bahwa kekuatan lama masih memainkan peran di balik layar.

Pun demikian, banyak pihak menduga, pola korupsi yang terjadi saat ini merupakan kelanjutan dari sistem yang sudah mengakar sejak era Ibnu Sutowo dan Joedo Sumbono. 

Memang pemerintah saat ini telah berupaya untuk membersihkan tubuh Pertamina dari jaringan mafia yang menggerogoti perusahaan sejak lama. Sayangnya, upaya ini selalu menghadapi tantangan besar karena kuatnya pengaruh kelompok-kelompok lama yang masih memiliki kendali atas berbagai aspek bisnis energi.

Lantas apakah Gading merupakan pewaris dari dinasti bisnis mafia minyak yang sudah berjalan selama puluhan tahun? Dan apakah Gading hanya korban dari sistem yang telah mapan dan sulit ditembus oleh aturan hukum? 

Ibnu Suwoto-Dwi Soetjipto

Ibnu Sutowo merupakan direktur utama paling lama di Pertamina. Ia memimpin Pertamina hampir 20 tahun (sejak era PN Permina). 

Dua belas dirut Pertamina lainnya belum bisa mengalahkan rekor Ibnu Sutowo. Semenjak Ibnu Sutowo lengser dari pucuk tertinggi Pertamina, sejak itu pula kursi empuk dirut Pertamina begitu panasnya sehingga sangat sedikit yang bisa bertahan lama.

Penerus Ibnu Sutowo bisa dibilang sebagai pengganti saja. Hanya Faisal Abda’oe yang bisa sedikit menandingi Ibnu Sutowo, dengan masa tugas hampir 10 tahun. 

Abda’oe barangkali jadi dirut terlama bila dihitung sejak periode merger PN Permina dan PN Pertamin menjadi Pertamina pada 1968.

Rata-rata lama periode menjabat seluruh dirut Pertamina selama 4,9 tahun. Sedangkan rata-rata lama memimpin para nakhoda Pertamina di era Orde Baru 8,2 tahun. Setelah reformasi, pergantian dirut Pertamina lebih cepat, rata-rata kekuasaan para pimpinan Pertamina hanya 2,3 tahun saja. 

Karen Agustiawan masih yang terlama memimpin Pertamina semenjak 1998, ia mampu melewati masa tugas 5 tahun. Karen Agustiawan saat ini mendekam dipenjara akibat terjerat kasus korupsi LNG.

Pergantian dan bongkar pasang direksi, terutama dirut Pertamina sebenarnya memang menjadi isu yang sensitif dan umumnya terjadi tak sampai masa jabatan mereka tuntas. Pun nuansa politis, pertimbangan kinerja, bahkan sinergi di internal Pertamina dan lainnya memengaruhi lengsernya seorang dirut Pertamina.

Ibnu Sutowo merupakan sosok militer yang melekat dengan Pertamina. Ia membangun Pertamina dari awal berdirinya PN Permina 10 Oktober 1957, hingga PN Permina dan PN Pertamin melebur pada 1968 jadi Pertamina.

Di bawah Ibnu Sutowo, Pertamina jadi bulan-bulanan media nasional yang sangat kritis waktu itu. Indonesia Raya di bawah Mochtar Lubis membombardir pemberitaan dugaan penyelewengan di Pertamina, termasuk bisnis-bisnis Pertamina yang di luar bidang perminyakan, yang berdampak pada keuangan perusahaan yang morat-marit terlilit utang. Padahal Pertamina kala itu melewati masa-masa booming harga minyak.

”…tiga bulan Indonesia Raya menyerang Pertamina dan saya pribadi, dari serial sampai pojok-nya.” kata Ibnu Sutowo dalam Buku Saatnya Saya Bercerita! (Ramadhan KH: National Press Club of Indonesia, 2008).

Pada Februari 1975, Pertamina mengalami gagal bayar (default) kredit sebesar 40 juta dolar AS kepada sindikasi bank Amerika. Sampai pada akhirnya, Soeharto yang berkuasa pada waktu itu mencopot Ibnu Sutowo pada 1976, dan melantik Piet Haryono yang juga berlatar militer pada 15 April 1976. 

Muncul spekulasi pencopotan Ibnu Sutowo karena pertimbangan politis. Namun, secara nyata kinerja Pertamina di bawah Ibnu Sutowo mendapat catatan langsung dari Presiden Soeharto meski diberhentikan dengan hormat.

“Kesulitan yang dialami oleh Pertamina memang cukup parah, terutama karena terlibat dalam kewajiban pembayaran utang-utang yang tidak terpikul lagi oleh kemampuan perusahaan tersebut. Besarnya kewajiban-kewajiban itu disebabkan oleh meluasnya kegiatan Pertamina, yang sebagian besar tidak langsung ada hubungannya dengan kegiatan di bidang minyak,” kata Soeharto dalam acara pelantikan Piet Haryono di Istana, dikutip dari laman soeharto.co.

“Tugas yang dipikulkan oleh pemerintah di pundak saudara Piet Haryono sungguh tidak ringan, lebih-lebih karena Pertamina harus terus menertibkan dan mengkonsolidasikan diri sebagai akibat kesulitan yang dialami.”

Perintah Soeharto kepada Piet sangat jelas yaitu menyelamatkkan Pertamina yang diambang kebangkrutan. Berbagai kontrak yang sudah disepakati akhirnya dibatalkan untuk mengurangi beban keuangan Pertamina. Piet Haryono mampu menjawab pekerjaan berat itu.

Dalam buku Transformasi Pertamina: Dilema Antara Orientasi Bisnis dan Pelayanan Publik (2009), disebutkansalah satu keberhasilan Piet adalah mengembangkan proyek LNG dan ekspansi kilang di Balikpapan dan Cilacap. Setelah menjabat selama lima tahun, Piet diganti. 

Pada April 1981 kursi tertinggi di Pertamina dipegang oleh Joedo Sumbono. Joedo dianggap punya peran dalam meletakkan dasar distribusi BBM di Indonesia dalam skema unit pemasaran. 

Joedo harus menyerahkan estafet ke penerusnya AR Ramly. Pada 19 Agustus 1988, Faisal Abda'oe menjadi orang nomor satu di Pertamina yang kelima.

Pada Juni 1998 Soegianto didapuk menakhodai Pertamina. Ia tercatat sebagai dirut Pertamina yang paling singkat dan menghadapi kondisi ekonomi Indonesia yang sedang sulit kala itu. 

Pada Desember 1998, Soegianto digantikan oleh Martiono Hadianto. Setelah Hadianto lengser, Baihaki Hakim menduduki tahta Pertamina. Hanya bertahan dua tahun, jabatan Baihaki diteruskan Ariffi Nawawi yang memimpin Pertamina hingga 2004. 

Pada masa itulah kasus persekongkolan penjualan VLCC Pertamina terjadi dan menjadi perkara karena dianggap merugikan negara. Setelah itu, Widya Purnama dipercaya memegang kepemimpinan di Pertamina. 

Persoalan tarik menarik soal pengelolaan Blok Cepu, membuat Widya dicopot lalu diganti oleh Ari Hernanto Sumarno. Ari yang memulai karier di Pertamina sejak 1978, pada 2006 didapuk sebagai orang nomor satu di Pertamina. 

Hanya berselang tiga tahun, pada 5 Februari 2009, Ari Sumarno diganti oleh Karen Agustiawan.

Dari lama jabatan kursi dirut Pertamina setelah era Orde Baru, Karen Agustiawan menjadi pemegang pucuk tertinggi terlama di Pertamina. Karen akhirnya mengundurkan diri mulai 1 Oktober 2014.

Di bawah Karen, Pertamina sempat melakukan berbagai akuisisi non-organik di lapangan minyak di luar negeri seperti di Algeria. Karen juga mampu mencatatkan Pertamina masuk peringkat 122 Fortune Global 500. 

Selepas Karen, Pertamina sempat dipimpin oleh Muhamad Husen sebagai pelaksana tugas (Plt) Dirut Pertamina. Dwi Soetjipto kemudian ditunjuk memimpin Pertamina mulai 28 November 2014.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya target pergantian direksi Pertamina punya manajemen yang lebih kuat dengan penambahan tiga direksi baru. Pada waktu itu, Dwi memiliki ranking tertinggi saat tes baik kemampuan global, kemampuan manajemen, dan kompetensi.

“Di SKK Migas sudah ada Pak Amin (Sunaryadi) kemudian juga Pak Faisal Basri di tim untuk reformasi di situ. Kemudian sekarang ada manajemen yang baru sehingga nanti bisa bersinergi akan lebih baik,” kata Jokowi dikutip dari laman Setkab.

Sayangnya, harapan bersinergi untuk membangun Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia, sistem transparan dari hulu hingga ke hilir dengan pemangku kepentingan lain menjadi antiklimaks. 

Kabar tak adanya sinergi di internal Pertamina menyeruak hingga puncaknya pada Jumat (3/2/2017) Menteri BUMN Rini Sumarno melalui SK No: SK-26/MBU/02/2017 memberhentikan Dwi Soetjipto sebagai Direktur Utama dan Ahmad Bambang sebagai Wakil Direktur Utama.

Menteri BUMN Rini Sumarno menghapus nomenklatur Wakil Direktur Utama untuk efektivitas jalannya kepemimpinan di Pertamina. Ini menghapus pakem lama di Pertamina. 

Pada masa Karen sempat ada sosok Omar S Anwar, sebagai wakil dirut. Lalu ada sosok Mustiko Saleh di bawah Dirut Widya Purnama, ada juga Iin Arifin Takhyan saat Pertamina bawah Ari H. Sumarno.

Dalam suasana industri migas yang penuh tantangan, kepemimpinan yang kuat memang sangat dibutuhkan. 

Tak hanya itu, koordinasi di dalam manajemen, termasuk kerja sama dengan para pemangku kepentingan sangat diperlukan agar Pertamina tak mengulang kisah keterpurukan seperti yang terjadi di masa silam karena salah pengelolaan. (an)

Topik:

Kejagung Korupsi Pertamina Pertamina Patra Niaga