Isu Suap IUP Bahlil: Sunyi di KPK, Nyaring di Senayan

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 16 Maret 2024 18:07 WIB
Ilustrasi - KPK - DPR - Menteri Investasi/BKPM Bahlil Lahadalia (Foto: Dok MI)
Ilustrasi - KPK - DPR - Menteri Investasi/BKPM Bahlil Lahadalia (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Riuh dugaan penyelewengan wewenang terhadap izin usaha pertambangan (IUP) oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia makin nyaring di Senayan, agak sunyi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Di Senayan (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR), nama Bahlil terus menyeruak, khususnya di Komisi VI dan VII.

Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto sebelumnya menyatakan, pihaknya akan segera memanggil Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) Bahlil Lahadalia terkait dugaan permainan izin tambang.

"Kami sudah dengar berbagai dugaan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Ada yang meminta kalau mau menghidupkan kembali Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta Hak Guna Usaha (HGU) lahan sawit harus bayar sekian, dan ada yang minta saham katanya. Ya Kami akan segera panggil Pak Bahlil," kata Sugeng di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/3/2024).

Meski demikian, Sugeng mengaku, belum bisa memastikan waktu pemanggilan Bahlil Lahadalia, karena masih dalam proses. Selain itu, DPR RI baru memasuki masa persidangan.

Sugeng mengatakan, pihaknya juga akan menanyakan kepada Bahlil soal tugas dari Satgas yang dibentuk Kementerian Investasi dalam mengevaluasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta Hak Guna Usaha (HGU) lahan sawit beberapa perusahaan.

Sugeng menilai bahwa pembentukan Satgas tersebut pun mencederai tata kelola pemerintahan. Alasannya, tupoksi Satgas tersebut dalam mengevaluasi IUP milik perusahaan melampaui tugas milik tiga kementerian. "Kami sudah sejak awal tidak setuju yang namanya satgas," kata Sugeng.

Di Komisi VI DPR juga akan melakukan pemanggilan ulang terhadap Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia pekan depan. 

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Sarmuji menyatakan, pembahasan rapat dengan Bahlil nantinya, selain terkait dengan kinerja, juga akan turut meminta penjelasan mengenai isu hangat. Dugaan penyalahgunaan wewenang pencabutan dan pengaktifan izin usaha pertambangan (IUP) serta HGU, misalnya.

"Jadwal (rapat dengan) Pak Bahlil baru pekan depan, kemungkinan hari Rabu. Agenda utamanya adalah soal kinerja investasi 2023 dan proyeksi investasi 2024," katanya kepada wartawan, Jum'at (15/3/2024).

"Memang tidak menutup kemungkinan, kita akan menanyakan soal pemberian dan pencabutan IUP dan HGU, sebagaimana yang menjadi sorotan masyarakat," tambahnya.

Bahlil seharusnya pada Kamis (14/3/2024) kemarin dipanggil Komisi VI DPR RI, namun batal hadir karena ada agenda lain yang tak bisa ditinggalkan. Tetapi, Bahlil justru mengunjungi Kementerian ESDM.

KPK didesak periksa Bahlil

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mendesak KPK agar memeriksa Bahlil Lahadalia dalam kapasitasnya sebagai Kepala Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.

Menteri Bahlil diduga melakukan penyalagunaan wewenang dalam mencabut dan mengaktifkan kembali Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta Hak Guna Usaha (HGU) lahan sawit di beberapa daerah.

"Keberadaan satgas penataan penggunaan lahan dan penataan investasi juga tumpang tindih. Harusnya tugas ini menjadi domain Kementerian ESDM karena UU dan kepres terkait usaha pertambangan ada di wilayah kerja Kementerian ESDM bukan Kementerian Investasi," tutur Mulyanto kepada wartawan.

Selain itu soal rapat, Mulyanto lantas memastikan adanya pembahasan pembentukan panitia kerja khusus atau pansus untuk mengusut segala macam pelanggaran Satgas Penataan Investasi juga terus dilakukan.

“Nampaknya dari berbagai fraksi di dalam Komisi VII DPR RI juga mendukung soal ini. Langkah ke arah sana terus dilakukan melalui lobi-lobi,” ujar Mulyanto.

Apa kata KPK?

Merespons desakan itu, KPK mengaku akan mempelajari informasi tersebut dan melakukan klarifikasi kepada para pihak yang dilaporkan mengetahui atau terlibat dalam proses perizinan tambang nikel. 

Tetapi, menurut ahli hukum pidana dari Unibersitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyatakan lembaga atirasuah itu tak perlu menunggu laporan dari masyarakat untuk kemudian memeriksa Menteri Bahlil itu. 

Sebab, kata dia, dalam dugaan kasus tersebut sudah ada indikasi kerugian negara. Terlebih lagi, Bahlil juga diduga meminta fee sebesar Rp25 miliar kepada pengusaha tambang yang ingin mengaktifkan perizinannya. "Kenapa KPK harus tunggu laporan? toh sudah tau juga ada indikasi dugaan korupsi IUP, maka tidak ada alasan lagi KPK untuk tidak memeriksa Bahlil," tegas Abdul Fickar saat  berbincang dengan Monitorindonesia.com, Sabtu (16/3/2024).

"KPK dapat melakukan penyelidikan dan penuntutan di pengadilan. Intinya KPK mengetahui adanya kerugian negara. Sementara DPR juga harus terus didorong untuk membentuk pansus dan mempersoalkan kasus upeti Bahlil," imbuhnya.

Terkait desakan DPR agar memeriksa Bahlil, Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK, Brigjen Asep Guntur Rahayu saat dikonfimasi Monitorindonesia.com, Sabtu (16/3/2024) sore belum memberikan respons. Begitupun dengan langkah apa yang akan dilakukan lembaga antirasuah itu.

Namun pada Kamis (14/3/2024) kemarin, Kepala Bagian (Kabag) Pemberitaan KPK, Ali Fikri menyatakan bahwa pihkanya sedang menyelesaikan dan mengembangkan lebih jauh terkait informasi dan data pada proses dugaan korupsi dengan tersangka AGK selaku Gubernur Maluku Utara.

Ali menjelaskan, KPK juga telah memanggil Direktur Hilirisasi Mineral dan Batubara BKPM, Hasyim Daeng yang kini berstatus nonaktif. Berdasarkan hasil pemeriksaan tim penyidik KPK, pada Jumat (3/1/2024), Hasyim diduga meloloskan izin usaha tambang salah satu pihak swasta atas pesanan Abdul Gani Kasuba.

"Beberapa pihak sudah dipanggil termasuk hari (Hasyim Daeng) ini juga kami terus melengkapi alat buktinya untuk mendalami informasi dan data terkait dengan tidak hanya substansi materi pada konstruksi perkara yang sudah kami umumkan pada saat tangkap tangan, tetapi kami kembangkan pada informasi dan data terkait perizinan pertambangan," jelas Ali.

"Oleh karena itu proses-proses ini terus kami lakukan siapapun kalau kemudian keterangannya dibutuhkan untuk memperjelas konstruksi perkara yang sedang dilakukan proses penyidikan saat ini," tambahnya.

Hingga saat ini, KPK belum bisa memastikan kapan kader Partai Golkar itu akan dipanggil. "Sejauh ini belum ada jadwal pemanggilannya," katanya.

Cabut Hidupkan IUP Wewenang Siapa?

Diketahui, bahwa menjelang Presiden Joko Widodo lengser di tahun 2024 ini, nama Bahlil Lahadalia tengah menjadi sorotan publik lantaran dia disebut-sebut melakukan penyalahgunaan wewenang dalam mencabut dan mereaktivasi IUP serta hak guna usaha (HGU) lahan sawit di beberapa daerah.

Bahlil diduga meminta sejumlah imbalan uang hingga miliaran rupiah dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan satgas tersebut. 

Tak hanya itu saja, dia juga dikabarkan meminta porsi saham dari perusahaan-perusahaan yang dicabut dan dipulihkan lagi IUP atau HGU-nya. Pembentukan satgas tersebut mengacu pada Peraturan Presiden No. 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi.

Pemerintah melalui Kementerian Investasi/BKPM tercatat mencabut 2.078 IUP, yang terdiri dari 1.776 IUP perusahaan tambang mineral  dan 302 IUP perusahaan tambang batu bara. Secara total, luas wilayah lahan yang dicabut izinnya itu mencapai sekitar 3,2 juta hektare (ha) yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pencabutan IUP tersebut dikarenakan para pemegang IUP itu tidak pernah menyampaikan rencana kerjanya, padahal izin sudah bertahun-tahun diberikan.

Padahal, pencabutan usaha pertambangan harus dilakukan secara transparan dan melalui mekanisme atau proses yang sesuai dengan ketentuan Pasal 119  UU Minerba. Menyatakan, bahwa izin dapat dicabut oleh menteri, dengan ketentuan di antaranya apabila pemegang IUP atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.

Selain itu bisa juga karena pemegang IUP atau IUPK itu melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, atau juga pemegang IUP dan IUPK dinyatakan pailit. 

Sedangkan proses pencabutan suatu IUP berdasarkan Pasal 185 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 96/2001 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba diawali dengan penerapan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi, dan pencabutan.

Dalam kaitan itu, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) juga menilai telah terjadi ketidakseimbangan antara kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat dan daerah.

"Tambang ini kan memang melibatkan sektor kementerian/lembaga, seharusnya memang duduk bareng gitu loh. Tidak bisa kemudian atas nama Investasi memudian mengabaikan sektor-sektor teknis lainnya gak bisa gitu juga," kata Manager Riset di Sekretariat Nasional Fitra, Badiul Hadi kepada Monitorindonesia.com, Jum'at (8/3/2024).

"Apakah Kementerian Investasi melibatkan Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Pedesaan (Kemendes)? Kemarin itu kan perbincangan soal tambang, bahwa tambang di desa ya, Kementerian Desa juga tidak pernah diajak ngobrol serius tentang perizinan-perizinan itu," bebernya.

Ini artinya, menurut dia, di level pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga kementerian ini mencerminkan adanya keterburukan koordinasi. "Seolah-olah tidak ada koordinasikan, ego dimasing-masing sektoral. Dan jangan sampai kemudian menjadi bumerang di level masyarakat, inikan dampaknya ke masyarakat juga," jelas Badiul.

"Ini yang paling penting, bahwa koordinasi lintas kementerian/lembaga itu harus diperkuat. "Terutama ini isu-isu sensitif yang berdampak ke lingkungan kemudian ke masyarakat yang secara langsung," tandasnya menambahkan. (wan)