Wacana Hukuman Mati Koruptor, antara Kenyataan dan Harapan

mbahdot
mbahdot
Diperbarui 30 Oktober 2021 15:17 WIB
Monitorindonesia.com - Wacana hukuman mati terhadap koruptor yang dilontarkan Jaksa Agung ST Burhanuddin menimbulkan reaksi di tengah masyarakat. Banyak kalangan mendukung, namun tak sedikit pula yang menganggap penerapan hukuman mati hanya sebatas wacana yang tak kunjung terealisasi. Hukuman mati terhadap pelaku kejahatan di Indonesia sejatinya konstitusional. Mahkamah Konstitusi (MK) sedikitnya telah dua kali menolak uji materiil terhadap penerapan hukuman mati yang diajukan terpidana narkotika, dengan menyatakan ketentuan pidana mati tidak bertentangan dengan UUD 1945. Untuk perkara korupsi, ancaman mati juga diatur dalam UU Tipikor yang telah diundangkan sejak 2001 silam. Hanya saja ketentuan pidana mati berlaku limitatif yang dapat diterapkan jika korupsi dilakukan ketika negara dalam keadaan bencana alam atau krisis ekonomi untuk dijadikan alasan pemberat penjatuhan vonis. Menariknya, sejak diundangkan hingga kini belum pernah sekalipun penuntut umum dalam perkara korupsi menuntut mati pelaku korupsi. Begitu juga vonis yang dijatuhkan pengadilan terhadap pelaku korupsi, padahal sejak 2001 hingga kini tak sedikit perkara korupsi yang berkaitan dengan bencana maupun krisis ekonomi terjadi di Indonesia. Sementara bagi kalangan yang pro penegakan HAM, pidana mati haruslah ditolak karena bertentangan dengan hak hidup yang berlaku secara universal. Khusus untuk korupsi, penegak hukum bisa menggunakan alternatif lain sebagai pemberat. Misalnya memastikan aset-aset hasil korupsi dirampas untuk negara daripada mewacanakan hukuman mati. “Tujuannya untuk memiskinkan koruptor,” kata Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, Sabtu (30/10/2021). Institusi KPK turut memberi pandangan atas wacana hukuman mati koruptor. KPK menilai wacana dari Jaksa Agung sebatas untuk memberi penegasan penuntut umum berwenang menuntut mati koruptor kakap untuk nantinya dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan vonis. “Semakin besar kerugian keuangan dan perekonomian negara, semakin terbuka kemungkinan penuntutan dan penjatuhan hukuman berat pada perkara korupsi tersebut,” kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango. Isu Populer Sebagian masyarakat lainnya meyakini pidana mati merupakan salah satu solusi untuk menimbulkan efek jera. Bahkan isu ini tergolong populer yang membuat banyak politisi maupun pejabat turut memberi dukungan. Pada sisi lain, kalangan yang skeptis terhadap wacana ini juga memiliki argumen yang cukup mendasar. ICW bahkan menilai wacana hukuman mati dari Jaksa Agung politis karena sebatas untuk mencari simpati publik. Keraguan penerapan hukuman mati terhadap kejahatan kerah putih seperti korupsi dapat dimengerti. Sebab sering kali penegak hukum di Indonesia seakan “masuk angin” dalam melakukan penindakan hingga muncul stigma “tumpul ke atas tajam ke bawah”. Kondisi ini turut mempengaruhi kualitas pemberantasan korupsi yang membuat sebagian kalangan melihat hukuman mati terhadap pelaku korupsi hanya sebatas wacana. Tidak bisa diaplikasikan karena penegak hukum memiliki masalah dalam meningkatkan kualitas pemberantasan korupsi. Argumentasi lain yang sering digunakan untuk menentang hukuman mati yaitu eksekusi mati bukan jaminan kejahatan seperti korupsi bakal lenyap dari Bumi Pertiwi. Bahkan bukan tidak mungkin membuat persoalan baru. Tiongkok merupakan negara yang sering dijadikan rujukan bagi kalangan pro pidana mati koruptor. Namun kalangan yang menentang juga mengeritisi pidana mati ala Tiongkok yang dituding kerap digunakan untuk mengeksekusi musuh politik partai komunis. Di Indonesia, pemberantasan korupsi masih memiliki banyak persoalan pada kualitas penanganan perkara yang tuntas atau paripurna. Hal ini terlihat dari wacana pidana mati bagi koruptor yang seakan-akan memberi harapan namun pada kenyataannya di lapangan hukum masih rentan dijadikan komoditas.

Topik:

jaksa agung st burhanuddin Hukuman Mati Koruptor