Komnas Perempuan Sebut Living Law di KUHP Berpotensi Diskriminasi Terhadap Perempuan 

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 13 Desember 2022 02:32 WIB
Jakarta, MI - Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) mengkritik pasal living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat. Aturan mengenai living law dimuat dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, aturan living law mengancam dan berpotensi memunculkan diskriminasi terhadap perempuan. Andy mengatakan, Indonesia sebagai negara yang masih kental terhadap pemikiran patriarki, memiliki potensi diskriminasi berbasis gender kepada perempuan. Kata dia, sampai saat ini masih banyak kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas, yang dibenarkan sebagai norma yang hidup di dalam masyarakat. "Belum lagi praktik kebiasaan yang bahaya bagi kehidupan perempuan, termasuk kebiasaan untuk memojokkan korban yang juga mengandalkan alasan tradisi untuk membenarkan situasi, yang mengurangi penikmatan perempuan pada hak asasinya untuk bebas dari diskriminasi dan juga kekerasan," kata Andy dalam diskusi mengenai Living Law, Senin (12/12). Andy menilai dengan adanya aturan living law, seseorang bisa dipidana walaupun perbuatannya tidak diatur di dalam KUHP. Dia mengatakan, Komnas Perempuan telah melakukan penelitian pada 2021 mengenai living law. Penelitian berdasarkan pemberlakuan hukum adat dan pengalaman penanganan kasus perempuan korban di Provinsi Aceh, Kalimantan Tengah, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. Kata Andy, hasilnya diintegrasikan berulang kali di dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) rekomendasi perumusan mengenai living law. Dia berharap, ada antisipasi agar pemberlakuan KUHP tidak merugikan perempuan. Selain itu, bisa berkontribusi pada pemenuhan hak asasi perempuan dan bisa bebas dari diskriminasi.