Pak Hakim Tolong Bebaskan Bhadara E dan Hukum Mati Ferdy Sambo Cs

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 27 Desember 2022 01:25 WIB
Jakarta, MI - Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Azmi Syahputra turut menyoroti hukuman yang pantas bagi Ferdy Sambo Cs atas perbuatannya dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (J). Ferdy Sambo diketahui memerintahkan kepada Bharada Richard Eliezer atau Bharada E untuk menembak Brigadir Yosua di rumah dinas Komplek Duren Tiga, Jumat 8 Juli 2022 sore lalu. Menurut Azmi, apa yang dilakukan pelaku (Ferdy Sambo) merupakan ancaman kemanusiaan dan layak semestinya kepada pelaku yang melakukan pembunuhan berencana terhadap orang yang selama ini berdedikasi untuk dijatuhkan hukuman mati untuk kejahatan yang luar biasa yang dilakukan atas perintah dan kehendaknya sebagai pelaku utama. "Kalau hakim berani dan tegas semestinya hukuman mati (Ferdy Sambo)," kata Azmi saat dihubungi Monitor Indonesia, Selasa (27/12). Seperti diketahui, Ferdy Sambo terancam hukuman maksimal yakni hukuman mati. Eks Kadiv Propam itu didakwa melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan hukuman maksimal, hukuman mati atau penjara seumur hidup. Sementara untuk Bharada Richard Eliezer atau Bharada E juga didakwa dengan pasal yang sama, namun Bharada E satu-satunya Justice Collaborator dari LPSK. Menurut Azmi, Bharada E hanyalah sebagai korban penyalahgunaan kekuasaan dari atasannya yang tak lain adalah Ferdy Sambo. Pasalnya, jika melihat sepanjang fakta persidangan Bharada E, jelas posisinya adalah sebagai korban penyalahgunaan kekuasaan (victims of abuse of power) karena jelas berdasarkan keadaan dan pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di persidangan bahwa dirinya sebagai tumbal. "Orang yang terintimidasi sehingga sangat tidak adil baginya dan semestinya tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku karena sebenarnya dalam skenarionya ia hanya dijadikan " bamper atau tumbal kejahatan atasannya," jelas Azmi. Bharada E, menurut Azmi, tidak mempunyai keinginan untuk melakukan perbuatan membunuh Brigadir Josua, mengingat kehendak dan perintah membunuh tersebut berasal dari luar diri Bharada E. "Sangat jelas terlihat posisi bharada E terdapat hubungan subordinasi yang tidak seimbang, karena dominasi dari pemberi perintah dalam hal ini kedudukan pelaku utama yang juga sebagai perwira tinggi," ungkap Azmi. "Tentunya sebagai bawahan tidak berani membantah atasan,secara dalam praktiknya jika bawahan sudah mendapat perintah dari atasan pasti bawahan merasa harus patuh dan yakin serta aman dilindungi," sambungnya. Karenanya, Azmi melihat fakta ini, dia (Bharada E) hanyalah sebagai korban yang terdapat adanya ancaman baik fisik dan psikis dari atasannya dan ia akan dijadikan seolah sebagai pelaku utama, dan justru kini malah ia menempati posisi kunci kasus tersebut. Sebab, tegas Azmi, dari keterangannya pulalah dapat mengungkap dan menemukan kejelasan tentang kasus pembunuhan Brigadir J menjadi terang termasuk menemukan para pelaku utamanya, karenanya atas perannya tersebut berhak atas dirinya memperoleh keadilan. "Fakta dan perannya tersebut harus menjadi pertimbangan hakim maupun penuntut untuk melihat peran penting Bharada E untuk menemukan alasan penghapusan pidana atau dasar hukum yang meringankan bagi Bharada E," jelas Azmi. Azmi menjelaskan, bahwa hukum itu mengenal asas accesoriumnon ducit, sed sequitur, suum principale yang artinya pelaku pembantu itu tidaklah memimpin, melainkan mengikuti pelaku utamanya. Sehingga dari kasus ini karena ketidaktahuannya dan ia tidak ikut aktif dalam skenario pembunuhan Brigadir Yosua. "Semestinya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban hukum namun pertanggungjawaban hukumnya diminta harus dibebankan kepada pihak yang memberi perintah, sebagai actor yang paling dominan tersebutlah yang memiliki motivasi kuat yang mempengaruhi motif dalam perbuatannya," bebernya. Dari fase persidangan ini pula, dapat dibuktikan faktanya dan berkesesuaian buktinya bahwa Bharada E melakukan perbuatan tersebut dalam keadaan paksaan yang tertekan psikisnya. Sekaligus demi menjalankan perintah atasannya yang dikategorikan sebagai korban penyalahgunaan kekuasaan. "Sehingga sepanjang Bharada E tidak punya alternatif lain untuk tidak menuruti perintah atasannya tersebut maka dalam hukum pidana, hal ini dapat diakui sebagai keadaan alasan pembenar maupun alasan pemaaf termasuk hilangnya sifat melawan hukum," kata Azmi. Azmi menegaskan, bahwa kenyataan adanya keadaan tertentu inilah yang tidak terbantahkan dan tentu hal ini dapat menjadi poin dalam keseimbangan keadilan (balancing justice). "Fakta dan keadaan ini tentunya menguntungkan bagi pembelaannya sebagai alasan penghapusan pidana, yang sekaligus bisa menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam membuat putusan nantinya karena posisinya sebagai korban kejahatan pidana," tutup Azmi Syahputra. #Hukum Mati Ferdy Sambo