UU Minerba Titipan Oligarki: Masyarakat Terdiskriminasi!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 5 Februari 2023 15:11 WIB
Jakarta, MI - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didin S Damanhuri menilai kehadiran Undang-Undang Minerba berisikan pasal yang tidak lain adalah titipan dari oligarki tambang. Pasalanya, kata dia, kehadiran UU Minerba dalam Perppu Ciptaker merupakan salah satu bukti kontrol oligarki ekonomi ke politik Indonesia. Sebab, Perppu 2/2022 juga tetap mempertahankan dan memperkuat pasal-pasal yang membuka kriminalisasi bagi rakyat. "Ya Undang-undang ini mengkriminalisasi masyarakat. Karena isinya, rakyat yang mempertahankan ruang hidupnya diancam pidana 1 tahun dan denda 100 juta. Hal itu bukti bahwa memang itu pasal titipan dari kalangan oligarki penambang," jelas Didin kepada wartawan, Minggu (5/2). Selanjutnya, pasal 'pemutihan' atas keterlanjuran kegiatan usaha yang berada di kawasan hutan yang sebelumnya diatur dalam Pasal 110A UU Cipta Kerja juga masih dipertahankan. Baik UU maupun Perpu Cipta Kerja tak memberi sanksi pidana bagi pelaku usaha di kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan, yang telah beroperasi sejak sebelum aturan berlaku. Menurut Didin, sejatinya UU itu harus berupa cerminan dari keadilan publik. Tidak boleh ada, katanya, UU negara manapun yang justru membela kelompok kepentingan tertentu. "Jadi itu terbalik. Harusnya ada pasal yang melarang pertambangan yang tidak didasarkan kepada analisis dampak lingkungan. Baik lingkungan alam, ekonomi, manapun lingkungan sosial," tegasnya. Lebih lanjut, dengan kekayaan sumber daya alam Indonesia. Seharusnya disusun sebuah pasal yang tidak merusak lingkungan. Hal itu guna untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. "Pasal itu yang disusun bukan pasal yang melindungi tambang-tambang. Yang merusak lingkungan. Yang menampung tenaga kerja asing. Yang seharusnya bahkan menciptakan kesempatan kerja yang seluas-luasnya kepada Tenaga Kerja indonesia," pungkasnya. Pembahasan perihal UU Minerba sebenarnya sudah mendapat aksi penolakan dari beragam khalayak, mulai dari masyarakat daerah sekitar tambang, petani, nelayan, serta berbagai LSM. Kendati begitu, DPR tetap bersikukuh untuk mengesahkan revisi UU Minerba No. 3 Tahun 2020, yang kemudian ditandatangani oleh Presiden pada 10 Juni 2020. Padahal isi pasal-pasal dalam UU Minerba sangat kontroversial. Bahkan cenderung mengabaikan sisi kepentingan lingkungan hidup serta jauh dari tujuan mensejahterakan masyarakat luas. Salah satunya, Pasal 162 UU Minerba telah menjadi instrumen pembungkaman pembela lingkungan hidup. Dalam hal ini masyarakat yang menolak tambang untuk terus berjuang dan membela lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dilanggar oleh aktivitas pertambangan. Sejatinya, dalam Pasal 162 berisi, melarang setiap orang merintangi kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi persyaratan. Pelanggaran terhadap aturan ini bisa dipidana dengan hukuman kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta. Sementara itu, Deputi Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien menyebut substansi Perpu Cipta Kerja tidak banyak berbeda dengan Undang-undang Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. "Perpu Cipta Kerja menyalin pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang berbahaya bagi lingkungan hidup," katanya. Pasal 162 Perpu Cipta Kerja yang dinilai berpotensi mengkriminalisasi masyarakat penolak tambang isinya masih sama persis dengan UU Cipta Kerja. Menurut Andi, aturan itu berpotensi menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk mengkriminilisasi masyarakat yang menolak kegiatan tambang. #UU Minerba