Catat! Kemenkumham Tegaskan KUHP Baru Tak Berlaku Vonis Mati Ferdy Sambo 

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 15 Februari 2023 22:37 WIB
Jakarta, MI - Pasca terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Ferdy Sambo divonis pidana mati, aturan pidana mati dalam UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kini disoroti publik. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan soal peluang penerapan UU KUHP baru ini pada kasus Ferdy Sambo. Eddy Hiariej, terlebih dahulu menjelaskan dirinya sebagai Wamenkumham RI tidak etis mengomentari putusan pengadilan. Namun sebagai guru besar hukum pidana, Profesor dari UGM ini boleh saja mengomentari putusan pengadilan. Eddy Hiariej mengatakan vonis yang diberikan pada Sambo berdasarkan KUHP lama yang masih berlaku saat ini. Sedangkan UU KUHP baru akan mulai diberlakukan 3 tahun setelah UU disahkan yakni pada 2 Januari 2026. "KUHP baru ini baru akan berlaku efektif tanggal 2 Januari 2026. Artinya, 3 tahun setelah diundangkan. Diundangkan kemarin 2 Januari 2023 sebagai UU nomor 1 tahun 2023 berlakunya 3 tahun kemudian berarti 2 Januari 2026. Artinya, vonis Sambo ini dijatuhkan berdasarkan pasal 10 KUHP lama yang memang masih berlaku," jelas Edward, berbicara sebagai seorang akademisi, melalui keterangan yang disampaikan Humas Kemenkum HAM, Rabu (15/2). Namun ia mengatakan eksekusi mati tersebut tidak serta merta dapat langsung dilakukan. Sebab kata Edward masih terdapat tahapan yang perlu dilakukan sebelum putusan menjadi inkrah, beberapa diantaranya yaitu banding, kasasi hingga peninjauan kembali. "Lalu kemudian ada pertanyaan juga, berarti bisa dong dilakukan eksekusi mati terhadap Ferdy Sambo dengan pidana mati yang dijatukan. Ini yang harus dipahami oleh masyarakat supaya tidak tersesat oleh komentar-komentar yang tidak paham akan asas teori dan asas hukum yang jelas, bahwa putusan Pengadilan Negeri ini kan belum berkekuatan hukum tetap, ada banding, ada kasasi, bahkan kecenderungan kita setelah kasasi dia akan melakukan peninjauan kembali," katanya. "Putusan Mahkamah Konstitusi itu menyebutkan peninjauan kembali bisa dilakukan lebih dari satu kali tidak ada batasan berapa kali orang boleh melakukan peninjauan. Ketika seorang melakukan pidana mati melakukan peninjauan kembali atas putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap dirinya itu sebagai salah satu alasan untuk menunda eksekusi. Kalau tidak ada batasan itu dilakukan berkali-kali. Jadi jalannya masih panjang," sambungnya. Selain itu, jika peninjauan kembali terus dilakukan hingga KUHP berlaku maka aturan yang digunakan merupakan aturan yang menguntungkan. Dimana diberlakukannya masa percobaan 10 tahun. "Sampai KUHP itu berlaku maka berdasarkan pasal 3 KUHP Nasional terperiksa, terlapor, tersangka, terdakwa, terpidana harus digunakan aturan yang lebih menguntungkan karena terjadi perubahan perundang-undangan. Artinya kalau ini sampai dengan 2026 maka yang menguntungkan adalah KUHP Nasional masa percobaan 10 tahun," tuturnya. Nantinya dalam masa percobaan ini, hukuman dapat diubah menjadi penjara seumur hidup bila berkelakukan baik. Namun bila tidak memenuhi kelakuan baik maka eksekusi mati dapat dilakukan. "Masa percobaan 10 tahun itu diliat kalau berkelakuan baik maka bisa diubah menjadi terpidana seumur hidup atau pidana sementara waktu 20 tahun. Tapi kalau dia tidak berkelakuan baik maka eksekusi pidana mati itu dilakukan," ujarnya.