Ketok Palu Hakim PN Jakpus Ganggu Konsentrasi

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 3 Maret 2023 10:45 WIB
Jakarta, MI - Ketok palu hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ganggu konsentrasi dan pancing kontroversi tanah air. Pasalnya, melalui putusannya, hakim menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari. Artinya Pemilu tidak dapat dilaksanakan pada tahun 2024. Putusan ini berawal dari gugatan Partai Prima dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, tersebut bercorak ultra vires dan potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan. Putusan tersebut dibacakan Majelis Hakim yang dipimpin T Oyong, dengan anggota H Bakri dan Dominggus Silaban, pada Kamis (2/3) kemarin. "Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari," demikian bunyi putusan tersebut, dikutip Monitor Indonesia, Jum'at (3/3). Dalam gugatan sebelumnya, Partai Prima juga merasa dirugikan KPU dalam verifikasi administrasi partai politik sehingga tidak lolos menjadi peserta Pemilu 2024. Tak tinggal diam, KPU langsung menyatakan banding. "Kami tegas menolak putusan tersebut dan ajukan banding," kata Ketua KPU Hasyim Asy'ari, kemarin. Pemerintah, Pakar, Politisi Angkat Bicara Menanggapi hal ini, Menko Polhukam Mahfud MD merasa khawatir dan bagi dia, putusan itu mengganggu tahapan Pemilu yang sudah berjalan. Menurut dia, PN Jakpus telah membuat sensasi yang berlebihan. Kata Mahfud, KPU pastilah yang menang dalam perkara ini. Sebab, PN tidak punya wewenang membuat vonis tersebut. Namun, vonis ini bisa memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi. "Bisa saja nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar," kata Mahfud. Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid menilai, putusan pengadilan ini jika diterapkan, maka konsekwensinya sangat serius, yaitu potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan, yang mana kekuasaan pemerintahan, baik presiden maupun lembaga-lembaga negara lainya seperti DPR, DPD, MPR, akan kehilangan legitimasinya, sebab Pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai agenda konstitusional. Misalnya, presiden RI akan berahir masa jabatannya pada 20 oktober 2024, dan tidak ada pelantikan presiden yang baru berdasarkan mandat rakyat melalui suatu pemilihan umum yang legitimate. “Sebab UUD 1945 tidak memberikan jalan keluar jika Pemilu tidak dapat dilanksanakan tepat waktu, atau tidak ada presiden yang terpilih sesuai agenda Pemilu yang telah ditetapkan, ini akan menjadi suatu keadaan kebuntuan konstitusional, ini sangat riskan, dan taruhannya terlalu mahal, itu salah satu impact yang cukup serius jika mengikuti nalar dari putusan ini,” paparnya. Mantan Ketua MK Prof Jimly Asshiddiqie pun ikut menanggapi dengan keras. "Hakimnya layak untuk dipecat karena tidak profesional dan tidak mengerti hukum pemilu serta tidak mampu membedakan urusan private (perdata) dengan urusan urusan publik," kata Jimly. Menurut dia, pengadilan perdata harus membatasi diri hanya untuk masalah perdata saja. Sanksi perdata cukup dengan ganti rugi, bukan menunda pemilu yang tegas merupakan kewenangan konstitusional KPU. Kalau ada sengketa tentang proses, yang berwenang adalah Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan pengadilan perdata. Kalau ada sengketa tentang hasil pemilu, yang berwenang adalah MK. "Sebaiknya putusan PN ini diajukan banding dan bila perlu sampai kasasi. Kita tunggu sampai inkracht," ujarnya. Pengacara kondang Prof Yusril Ihza Mahendra berpendapat sama. Menurut dia, majelis hakim telah keliru membuat putusan dalam perkara tersebut. Karena ini kasus perdata, putusan mengabulkan dalam sengketa perdata biasa hanyalah mengikat penggugat dan tergugat, tidak dapat mengikat pihak lain. Putusannya tidak berlaku umum dan mengikat siapa saja atau "erga omnes". Jadi, kalau majelis berpendapat bahwa gugatan Partai Prima beralasan hukum, KPU harus dihukum untuk melakukan verifikasi ulang terhadap Partai Prima, tanpa harus mengganggu partai-partai lain dan mengganggu tahapan Pemilu. "Hemat saya, majelis harusnya menolak gugatan Partai Prima, atau menyatakan N.O atau gugatan tidak dapat diterima karena Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara tersebut," ujarnya. Kalangan politisi ikut mempersoalkan putusan PN Jakpus tersebut. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengaku langsung melakukan konsultasi dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri terkait gugatan yang diajukan Partai Prima. Kata dia, Mega mengingatkan, berpolitik itu harus menjunjung tinggi tata negara dan tata pemerintahan yang baik berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. “PDI Perjuangan sikapnya sangat kokoh, taat konstitusi, dan mendukung KPU agar Pemilu berjalan tepat waktu. Karena itulah, Ibu Megawati menegaskan agar KPU tetap melanjutkan seluruh tahapan Pemilu," kata Hasto. Menurut Hasto, putusan PN Jakpus bukan ranahnya sehingga harus dibatalkan. Ia pun meminta Komisi Yudisial (KY) melakukan investigasi terhadap adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan majelis hakim PN Jakarta Pusat yang menyidangkan perkara tersebut. "Sesuai arahan Ibu Ketua Umum PDI Perjuangan, demi menjaga konstitusi dan mekanisme demokrasi secara periodik melalui Pemilu 5 tahunan, menolak segala bentuk penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan,” tegasnya. Waketum NasDem Ahmad Ali mengomentari dengan nada yang sama. "Putusan itu kebablasan karena Pengadilan Negeri tidak punya kewenangan untuk mengadili perkara ini," kata Ali, kemarin. Sementara itu, Ketum Partai Prima Agus Jabo Priyono tampak happy dengan putusan ini, Agus mengaku telah menerima salinan putusan PN Jakpus yang pada intinya mengabulkan seluruh gugatan terhadap KPU. "Kebenaran telah menemukan jalannya sendiri," kata Agus. (LA) #Hakim PN Jakpus