Di hadapan Mahasiswa Fisip Universitas Galuh, LaNyalla Sebut Kemiskinan Sulit Dientaskan

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 11 Februari 2023 01:01 WIB
Jakarta, MI - Katua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan wawasan kebangsaan yang identik dengan nasionalisme sangat penting untuk selalu tanamkan, terutama kepada generasi muda. Sebab, kata dia, seperti dikatakan Ki Hajar Dewantoro, bahwa anak didik atau generasi muda yang tidak ajarkan nasionalisme dan kebangsaan, bisa jadi di masa depan akan menjadi lawan. Hal itu ia ungkapkan saat menjadi keynote speech dalam Seminar Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Galuh, dengan tema; “Dinamika Parlemen Bikameral Indonesia: Urgensi dan Problematikanya”, di Ciamis Jawa Barat, pada Kamis (9/2) kemarin, "Ini artinya memori kolektif kita sebagai bangsa Indonesia memang harus dijaga. Jati diri kita sebagai bangsa Indonesia juga harus kita pastikan tidak tercerabut. Karena penguasaan bangsa oleh bangsa lain, di masa kini tidak harus melalui operasi militer, tetapi dapat dilakukan dengan penghilangan kesadaran kolektif kita sebagai bangsa yang memiliki jati diri dan karakter," jelas LaNyalla. Di hadapan, Bapak Ibu dan Para Mahasiswa, ia mengaku sudah berkeliling ke lebih dari 300 kabupaten kota di 34 Provinsi di Indonesia. Kata dia, bertemu dengan stakeholder daerah. Baik pemerintah daerah, maupun elemen masyarakat dan perguruan tinggi. "Saya menemukan persoalan yang hampir sama di semua daerah. Yaitu ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan kemiskinan struktural yang sulit dientaskan," ungkapnya. Menurut LaNyalla, ketidakadilan semakin terasa dalam 20 tahun belakangan ini. Khususnya sejak era reformasi. Dimana, lanjut dia, segelintir orang semakin kaya dan menguasai sumber daya Indonesia, sementara jutaan rakyat tetap miskin dan rentan menjadi miskin. "Pertanyaannya mengapa ini bisa terjadi? karena sejak era reformasi, Negara tidak lagi berdaulat untuk menyusun ekonomi. Karena ekonomi dipaksa disusun oleh mekanisme pasar bebas," katanya lebih lanjut. LaNyalla pun menegaskan, bahwa Negara tidak lagi berkuasa penuh atas bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, karena cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak sudah dikuasai swasta. Menurutnya, hal ini adalah dampak dari perubahan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi yang dilakukan bangsa ini di tahun 1999 hingga 2002 silam. Yang kemudian diikuti dengan lahirnya puluhan Undang-Undang yang pro pasar bebas. Utang Meningkat Ironisnya, tambah LaNyalla, jumlah uutang pemerintah melesat jauh meningkat sejak awal tahun 2000 hingga hari ini. "Bahkan tahun 2023 ini, pemerintah berencana menambah hutang lagi sekitar 700 trilyun rupiah. Artinya di tahun 2023 ini, hutang pemerintah akan menembus angka 8.000 triliun rupiah," bebernya. Dan rakyat Indonesia, sebagai pemilik negara ini tidak bisa berbuat apa-apa. Karena nyatanya Undang-Undang pro pasar terus lahir, dan hutang yang harus dibayar generasi masa depan juga terus bertambah. "Mengapa rakyat tidak bisa berbuat apa-apa? Karena kedaulatan rakyat sudah dipindahkan kepada kedaulatan Partai Politik dan Presiden," jelasnya. Hal ini juga, kata dia, diakibatkan Perubahan Konstitusi yang dilakukan bangsa ini di tahun 1999 hingga 2002 silam. Dimana partai politik dan DPR RI serta pemerintah memiliki peran yang sangat kuat untuk menentukan arah perjalanan bangsa ini. Inilah dampak dari pada meninggalkan Rumusan Bernegara yang disusun para pendiri bangsa kita. Rumusan Bernegara yang terdapat di dalam Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 telah diubah total dalam Amandemen di era reformasi saat itu. Bahkan perubahan itu mencapai lebih dari 95 persen. "Itulah mengapa dalam penelitian akademik Profesor Kaelan dari Universitas Gadjah Mada menyebut hal itu bukan Amandemen Konstitusi, tetapi penggantian Konstitusi. Karena selain mengubah total isi pasal-pasalnya, perubahan itu juga mengubah format dan rumusan bernegara Indonesia," lanjutnya. "Bahkan Pancasila tidak lagi tercermin dalam isi pasal-pasal Konstitusi hasil perubahan itu. Melainkan nilai-nilai lain, yaitu ideologi Liberalisme dan Individualisme," timpalnya. Inilah yang menyebabkan Indonesia terasa semakin gagap menghadapi tantangan dunia masa depan. Karena lemahnya kekuatan ekonomi negara dalam menyiapkan ketahanan di sektor-sektor strategis. "Oleh karena itu tidak ada pilihan. Darurat Sistem yang diakibatkan oleh Kecelakaan Perubahan Konstitusi harus kita akhiri dengan cara kembali kepada rumusan asli sistem bernegara dan sistem ekonomi Pancasila," ujarnya. Demokrasi Pancasila Lebih lanjut, LaNyalla menjelaskan, bahwa para pendiri bangsa sudah merumuskan satu sistem yang paling ideal untuk Indonesia. Sistem tersendiri yang cocok untuk bangsa yang super majemuk. Dengan penduduk yang tersebar di pulau-pulau yang terpisah oleh lautan. Dengan lebih dari 500 suku yang tersebar di negara ini. Sehingga, kata dia, para pendiri bangsa memutuskan bahwa bangsa ini tidak akan bisa menjalankan sistem demokrasi liberal barat murni, atau sistem komunisme timur. Karena itu dipilihlah sistem tersendiri. Yaitu sistem Demokrasi Pancasila. Karena hanya sistem Demokrasi Pancasila yang memiliki Lembaga Tertinggi yang mampu menampung semua elemen bangsa sebagai bagian dari Penjelmaan Rakyat. "Sehingga ciri utama dan yang mutlak harus ada dalam Sistem Demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, yang terpisah-pisah, harus berada sebagai pemilik Kedaulatan Utama yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini, yaitu di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR," jelasnya. Itulah konsepsi sistem bernegara kita yang tertuang di dalam Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945. Dimana terdapat wakil-wakil yang dipilih. Dan utusan-utusan yang diutus untuk berada di MPR. Wakil-wakil yang dipilih, adalah peserta Pemilihan Umum. Sedangkan Wakil-wakil yang diutus, adalah mereka yang diusung dan diberi amanat oleh kelompok mereka. Sehingga dirumuskan terdapat dua utusan. Utusan Daerah; yaitu mereka para tokoh daerah atau Raja dan Sultan Nusantara. Sedangkan Utusan Golongan adalah mereka yang terdiri dari Organisatoris dan Profesional yang aktif di bidangnya. "Karena jika MPR hanya diisi melalui Pemilu, maka Demokrasi yang berkecukupan tidak akan terpenuhi. Karena Pemilu hanya sanggup menjamin keterwakilan secara Kuantitatif, baik distrik maupun proporsional," katanya melanjutkan. Sedangkan utusan, adalah mereka yang menjamin keterwakilan secara Kualitatif. Karena mereka memang pelaku dan pegiat yang aktif. Mereka yang tidak melepaskan identitas dan profesinya. Karena memang mereka utusan dari pegiat-pegiat di bidangnya. "Sebaliknya, mereka yang masuk melalui jalur Partai Politik atau peserta Pemilu, wajib melepaskan “identitas” atau profesinya, untuk menghindari conflict of interest saat menyusun Undang-Undang," ujarnya. "Dengan demikian, maka utuhlah demokrasi kita. Semuanya terwadahi. Sehingga menjadi demokrasi yang berkecukupan. Tanpa ada yang ditinggalkan," ujarnya lagi. Untuk kemudian mereka bersama-sama Menyusun Arah Perjalanan Bangsa melalui GBHN dan Memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagai mandataris atau petugas yang diberi mandat. Sehingga Presiden adalah petugas rakyat. Bukan petugas partai. "Tetapi persoalan berikutnya adalah, Disain atau Rumusan Asli Sistem Bernegara para pendiri bangsa ini tidak mengenal Sistem Bi-Kameral. Tidak mengenal Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui Pemilu," katanya. MPR Penjelmaan Rakyat Menurut LaNyalla, Lembaga Tertinggi Negara yang bernama MPR yang merupakan Penjelmaan Rakyat hanya diisi melalui dua jalur. Yaitu jalur yang dipilih melalui Pemilu dan jalur yang diutus.  Sehingga hanya berisi Anggota DPR yang dipilih dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan yang diutus. "Oleh karena itu, sebagai tawaran penyempurnaan Undang-Undang Dasar Naskah Asli melalui Amandemen dengan Teknik Adendum, saya mengusulkan agar Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR, tidak hanya diisi oleh Peserta Pemilu dari Unsur Partai Politik saja. Tetapi juga diisi oleh Peserta Pemilu dari Unsur Perseorangan," unkapnya. Sehingga, kata dia, anggota Dewan Perwakilan Daerah yang juga dipilih melalui Pemilu dari unsur perseorangan, berpindah menjadi satu kamar di DPR RI. Karena pada hakikatnya mereka sama-sama dipilih melalui Pemilu. Lebih jauh, LaNyalla memaparkan, bahwa dengan adanya anggota DPR RI peserta pemilu dari unsur perseorangan, akan membawa dampak positif setidaknya dalam 3 hal. Pertama, kata dia, memperkuat mekanisme check and balances terhadap eksekutif. Kedua, mencegah koalisi besar partai politik dengan pemerintah yang merugikan kepentingan rakyat. Dan ketiga adalah sebagai penyeimbang dan penentu dalam pengambilan keputusan-keputusan penting di DPR RI. "Sehingga keputusan di DPR RI tidak hanya dikendalikan oleh Ketua Umum partai politik saja. Karena anggota DPR RI dari unsur perseorangan tidak mempunyai Ketua Umum," jelasnya. Utusan Daerah Sedangkan Utusan Daerah, kata LaNyalla, tetap diisi oleh utusan-utusan daerah, yang idealnya dihuni oleh Raja dan Sultan Nusantara serta masyarakat adat. Sementara Utusan Golongan diisi oleh utusan-utusan dari Organisasi dan para Profesional. Utusan Daerah dan Utusan Golongan harus diberi hak untuk memberikan pertimbangan yang wajib diterima oleh DPR RI dalam penyusunan Undang-Undang. Hal itu sekaligus sebagai penguatan fungsi Public Meaningful Participation atau keterlibatan publik dalam penyusunan Undang-Undang. "Sehingga hasil akhirnya, kita memperkuat sistem bernegara yang telah dirumuskan para pendiri bangsa, tanpa mengubah struktur atau konstruksi sistem bernegara, dimana penjelmaan rakyat harus berada di Lembaga Tertinggi Negara," katanya. Caranya, jelas LaNyalla, dengan menyepakati Konsensus Nasional, agar bangsa ini kembali kepada Pancasila. Dengan mengembalikan Undang-Undang Dasar 1945 Naskah Asli, untuk kemudian kita amandemen dan sempurnakan kelemahannya dengan teknik addendum. Tanpa mengubah sistem bernegaranya. "Itulah yang sekarang sedang saya tawarkan kepada bangsa ini. Mari kita perbaiki kelemahan naskah asli Konstitusi kita. Tetapi jangan kita mengubah total Konstruksi bernegara yang telah dirumuskan para pendiri bangsa," bebernya. Menurut LaNyalla, Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli wajib dan harus disempurnakan. Agar tidak memberikan peluang praktek penyimpangan yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru. Karena kita harus selalu belajar dari sejarah. Untuk itu, diakhir sambutaannya, LaNyalla berharap kepada para mahasiswa yang berminat mempelajari Peta Jalan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. "Dapat mengunjungi website saya, di alamat; lanyalla center dot id," ajaknya.