Ekonom INDEF Sebut Utang RI Numpuk Akibat Cacatnya Mesin Politik Ekonomi

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 24 Juni 2021 15:17 WIB
Monitorindonesia.com - Ahli ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Prof. Didik J. Rachbini menyebut bahwa utang Indonesia yang menumpuk disebabkan karena mesin politik ekonomi di Indonesia saat ini telah cacat, rusak dan demokrasi sudah mengalami kemunduran serta menjadi otorioter. "Karena mesin politik ekonomi cacat, maka kebijakan anggaran menjadi otoriter pula," ucap Didik kepada wartawan di Jakarta, Kamis (24/6/2021). Diketahui, utang luar negeri saat ini membengkak, sehingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengkhawatirkan Indonesia tidak mampu membayar utang tersebut. BPK mengungkapkan tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara. Melihat data tersebut, Ketua BPK, Agung Firman Sampurna mengaku khawatir pemerintah tidak mampu untuk membayarnya. Bahkan BPK melaporkan, realisasi pendapatan negara dan hibah tahun 2020 sebesar Rp1.647,78 Triliun atau mencapai 96,93 persen dari anggaran. Sementara itu, realisasi belanja negara sebesar Rp2.595,48 Triliun atau mencapai 94,75 persen dari anggaran. Hal itu membuat defisit anggaran tahun 2020 dilaporkan sebesar Rp947,70 Triliun atau 6,14 persen dari PDB. Utang pemerintah sudah mencapai Rp6.074,56 Triliun pada tahun 2020. Jumlah utang ini naik tajam dibandingkan dengan tahun sebelumnya 2019, yaitu Rp4.778 Triliun. Melanjutkan pernyataannya, Didik mengatakan, sikap otoriter pemerintah akan mendatangkan para 'pelobi' yang dekat dengan kekuasaan, sehingga dapat dengan leluasa meningkatkan defisit dengan sengaja, kemudian melahirkan keputusan dengan mudah, sembrono dan salah kaprah, tanpa pertimbangan teknokratis dan rasional. "Jadi, kita mesti bersiap-siap menghadapi masalah berat dalam utang pemerintah yang meningkat pesat dua tahun terakhir ini. Krisis ekonomi yang lebih luas sangat bisa masuk lewat krisi APBN, yang sudah sulit untuk membayar utang di tahun-tahun mendatang," katanya. Menurut Didik, gejala krisis ekonomi sudah mulai berawal dari krisis anggaran dan utang, yang bisa menyebar ke sektor ekonomi lainnya, dimana investor mulai tidak percaya, luar negeri berhenti masuk ke dalam negeri, dan akhirnya masuk ke tahap paling dalam 'vote of no convidence'. "Jika sudah sampai tahap ini, maka krisis tiga dimensi bisa terjadi, krisis pandemi, krisi ekonomi dan krisis sosial politik," urai Rektor Universitas Paramadina itu lagi. Didik menambahkan, dalam setiap kebijakan pemerintah, parlemen seakan melempem dan cenderung menuruti kemauan pemerintah untuk melancarkan program yang banyak membebani rakyat. Sebab, parlemen sekarang sudah lebih rendah kapasitasnya dengan parlemen masa Orde Baru, yang dalam kondisi otoriter tetap memiliki kapasitas teknokratis. Tetapi parlemen sekarang tidak memilikinya. "Karena demokrasi sudah terganti otoriter, maka anggota-anggota DPR cuma pasif nurut, mau defisit dilebarkan dengan alasan pandemi, monggo. Hak budgetnya dipotong sehingga tidak punya wewenang menentukan APBN. Itu akar masalah, karena demokrasinya rontok maka politik ekonomi angggaran memakai kekuasaan politik minus kapasitas teknokratios, minus rasionalitas akal sehat," pungkasnya. (Ery)

Topik:

ekonom indef utang numpuk