DPR: Kekhawatiran BPK Soal Utang Besar Realistis

Adrian Calvin
Adrian Calvin
Diperbarui 25 Juni 2021 17:30 WIB
Monitorindonesia.com - Anggota Komisi XI DPR RI Achmad Hafisz Thohir menilai, kekhawatiran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap kondisi utang negara saat ini cukup realistis. Hal itu karena tren penambahan utang pemerintah plus biaya bunga memang sudah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sehingga dikhawatirkan dapat menyulitkan pemerintah karena ruang fiskal menjadi sangat sempit. "Rasio utang yang meningkat 41,65 persen saat ini menjadi penyebab timbulnya kekhawatiran BPK terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," ujar Hafisz, Kamis (25/06/2021). Politisi PAN itu menambahkan, kekhawatiran BPK itu juga atas dasar bahwa telah terjadi kelebihan batas Debt to Service Ratio yang direkomendasikam IMF Debt Relief (IDR) berkisar 25-35% yang mana saat ini telah mencapai 46,77% atau sesuai dengan hasil audit BPK 2020. "Sebetulnya ini sudah harus menjadi peringatan keras bagi pemerintah dalam pengelolaan keuangannya. Karena dapat menciptakan fraud. Hal ini juga terjadi pada rasio pembayaran bunga yang melebihi batas ketentuan IMF, untuk itu kami meminta hal ini menjadi catatan penting bagi pemerintah," ucapnya. Catatan lainnya, ungkap dia, pembiayaan sebesar Rp 1.195 triliun yang menjadi catatan khusus bagi BPK, memang melebihi kebutuhan pembiayaan (125%) untuk menutupi defisit anggaran tahun 2020 yang di APBN tercatat sebesar Rp 947,70 T atau 6,14% dari PDB. Sehingga kelebihan ini menjadi SILPA di 2021 sebesar Rp 245 T yang sebenarnya tidak perlu dilakukan di 2020 karena ada beban bunga ditahun berikutnya. Hal itu mengingat pembiayaan ini diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Sementara utang pemerintah akhir 2020, telah mencapai Rp 6.074,56 T. Posisi utang ini naik cukup tajam dibandingkan akhir tahun 2019 lalu. "Dalam 1 tahun, utang bertambah Rp 1.296,56 T dari akhir 2019 yang tercatat Rp 4.778 T. Sehingga menciptakan rasio utang yang cukup besar saat ini," jelasnya. Ia mengatakan, pertumbuhan utang pemerintah selama 5 tahun terakhir telah melebih pertumbuhan GDP sehingga menciptakan ruang debt yang semakin tinggi.Hal ini tergambar dari Debt to GDP Ratio kita yang semakin tahun semakin tinggi 24% tahun 2014 dan 41.65% di tahun 2021. [bng]

Topik:

PAN BPK Hutang RI

Berita Sebelumnya

Dukung Swasembada Gula, Darmadi: Review Dulu Permenperin 3/2021

Berita Selanjutnya

ARDINDO Terpilih Menjadi Peserta Penuh dalam Munas VIII KADIN Indonesia

Berita Terkait

Hukum
Mantan Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi (Foto: Dok MI/Antara)

KPK Didesak Usut Temuan BPK Perdin Fiktif Bapanas Rp 5,03 Miliar

1 jam yang lalu

Politik
Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PAN, Nasril Bahar

Komisi VI DPR RI Akan Gelar Rapat Gabungan Bahas Gula Rafinasi

2 Oktober 2025 06:56 WIB

Politik
Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PAN, Nasril Bahar

Komisi VI DPR Harap 11 Perusahaan Gula Rafinasi Bangun Kebun Di Wilayah Timur Indonesia

2 Oktober 2025 06:35 WIB

Hukum
Ketua Umum Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) Trubus Rahardiansyah (Foto: Dok MI/Pribadi)

BPK Didesak Audit Perdin Dirut Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi: Jangan Anggap Perusahaan "Nenek Moyangnya"!

1 Oktober 2025 12:32 WIB

Politik
Anggota DPR RI nonaktif dari Fraksi PAN, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio [Foto: Ist]

PAN Minta Gaji-Fasilitas Eko Patrio dan Uya Kuya Dihentikan

3 September 2025 11:22 WIB

Nasional
Wakil Ketua Umum (Waketum) PAN, Viva Yoga Mauladi (Foto: Tangkapan Layar)

PAN Resmi Nonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya dari DPR RI

31 Agustus 2025 14:57 WIB