Pendiri CORE Indonesia: Stimulus Fiskal di Masa Pandemi, Harus Targeted

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 26 Agustus 2021 09:19 WIB
Monitorindonesia.com - Ekonom Senior dari Universitas Gajah Mada (UGM), yang juga pendiri CORE Indonesia, Hendri Saparini, Ph.D, mememinta pemerintah harus menyiapkan konsep matang dan jelas terkait kebijakan stimulus fiskal, maupun tujuan pemberian bantuan tunai kepada masyarakat. Menurutnya tahun depan, saat pandemi Covid-19 sudah memasuki tahun ketiganya, pemerintah semestinya sudah punya konsep jelas dalam pemulihan ekonomi yang terdampak selama pandemi. "Kalau tahun pertama dengan gelontoran BLT oke, tapi tahun kedua dan tahun ketiga di tahun depan, semestinya punya desain yang jelas bahwa tidak hanya sekedar menggelontorkan pendanaan, tapi juga ditangkap kelompok atas," ucap Hendri dalam diskusi daring bertajuk 'Anomali Pandemi di Indonesia: Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Makin Miskin', Rabu (25/8/2021). Ia mengatakan bantuan pendanaan yang diberikan negara untuk masyarakat kelas ekonomi bawah juga harus memiliki efek bagi kelompok masyarakat ekonomi menengah. Sehingga efek domino pemulihan ekonomi yang diharapkan bisa terjadi, mulai dari kalangan bawah, menengah, dan atas. "Stimulus fiskal memang harus dilakukan tambahan anggaran, tapi harus dengan desain kebijakan yang jelas agar terjadi pertumbuhan yang inklusif. Itu yang harus ditekankan. Bukan tingginya kebijakan pertumbuhan ekonomi semata. Selain itu, stimulus yang diberikan harus targeted," imbuh Hendri. Di sisi lain, Hendri mengatakan bahwa stimulus fiskal yang sifatnya penggelontoran anggaran itu, bukan satu-satunya strategi yang tepat. Karena jika melihat negara-negara lain dengan stimulus fiskal yang relatif rendah seperti Vietnam misalnya, hanya sekitar 3 sampai 4%, tapi tetap bisa memimpin pertumbuhan ekonominya hampir 3%. "Terus kemudian kita lihat yang lain lagi. Turki mungkin mereka stimulus fiskalnya juga cuma 1% dari PDB. Tetapi ekonomi mereka tetap tangguh positif 1,8% gitu. Sementara di Indonesia kan kalau kita lihat, stimulus kita sudah mendekati 3% dari PDB, tapi pertumbuhan ekonomi kita juga negatif. Jadi itu, bukan jaminan," sebut dia. Bahkan, menurut Hendri, penggelontoran inilah yang kemudian menyebabkan justru terjadinya kesenjangan tadi. Karena ada dana yang luar biasa digelontorkan, sementara kesempatan orang untuk bisa menangkap anggaran yang sangat besar tadi itu berbeda-beda. "Nah jadi, kalau kita lihat kenapa di Indonesia, jumlah konglomerat itu tidak hanya bertambah, tetapi juga yang dikumpulkan pundi-pundinya itu meningkatnya luar biasa, yakni lebih dari 30% dan kenapa ini bisa terjadi, karena memang di era pandemi ini mereka sangat berhati-hati, mereka enggak akan spending," katanya. Sementara di Indonesia, tambah Hendri, perekonomian disokong oleh 83% itu spendingnya kelas menengah atas, dan jika mereka tidak mau spending, maka ekonomi juga juga tidak bergerak. Padahal spending mereka itu tadi 83% dari total konsumsi rumah tangga. "Selain itu, kelompok menengah atas masih punya dana yang mereka simpan, sehiugga kemudian meningkatkan jumlah orang kaya di Indonesia tadi. Karena kalau melihat jumlah dana pihak ketiga di perbankan yang di atas 2 Miliar, terus naik dan bahkan di tahun 2021 ini lebih tinggi lagi maka terjadi gapnya itu luar biasa," demikian Hendri Saparini. (Ery)

Topik:

stimulus fiskal