Kelompok Lingkungan Hidup AS Soroti Hilirisasi Indonesia, Apa Kepentingannya?

Zefry Andalas
Zefry Andalas
Diperbarui 8 Februari 2024 17:53 WIB
Ilustrasi - Amerika Serikat (AS). (Foto: dok wikipedia)
Ilustrasi - Amerika Serikat (AS). (Foto: dok wikipedia)

Jakarta, MI - Kebijakan hilirisasi mineral kembali mendapatkan sorotan dari media asing. Kali ini, pelarangan ekspor bijih nikel yang 'ugal-ugalan' ditengarai bisa membawa dampak lanjutan yang lebih besar.

Wall Street Journal (WSJ) dalam laporannya, Senin (5/2/2024), mengungkapkan bagaimana Indonesia memberlakukan larangan besar terhadap ekspor nikel mentah. Artinya, perusahaan yang ingin memanfaatkan sumber mineral yang digunakan dalam jenis baterai kendaraan listrik tersebut harus membangun smelter di Indonesia.

Para pejabat memperkirakan bahwa pabrik-pabrik yang memproduksi baterai kendaraan listrik dan seluruh mobil listrik juga akan mengikuti jejak tersebut, sehingga menghasilkan rantai pasokan end-to-end yang dekat dengan sumber mineral.

Namun, pelaksanaan program peningkatan nilai tambah tersebut nyatanya dilematis dari sisi lingkungan. Pasalnya, penggunaan batu bara, yang dianggap sebagai sumber energi kotor, sebagai bahan bakar pembangkit untuk mendukung kegiatan tersebut, juga meningkat.

WSJ mengutip laporan Climate Rights International, sebuah kelompok lingkungan hidup Amerika Serikat (AS), pada bulan Januari yang mengatakan bahwa sebuah kawasan industri yang berfokus pada nikel yang terletak di kepulauan Maluku akan membakar lebih banyak batu bara dibandingkan Spanyol atau Brasil jika kawasan tersebut sudah beroperasi penuh.

Hal itu juga disinggung oleh Calon Wakil Presiden Muhaimin Iskandar saat debat beberapa waktu lalu.

"Kita mengorbankan lingkungan dan masyarakat, namun pada saat yang sama kita hanya mendapatkan sedikit keuntungan bagi negara," katanya, sebagaimana dikutip WSJ.

Kandidat-kandidat lain telah berjanji untuk meneruskan kebijakan nikel yang diusung presiden, termasuk calon presiden Prabowo Subianto, yang mengatakan bahwa lebih baik mengekspor baterai kendaraan listrik daripada nikel mentah.

Menurut WSJ, reputasi "nikel kotor" mengancam peluang ekonomi yang sangat didambakan Indonesia. Pada Oktober, sembilan senator AS menandatangani surat yang menentang usulan perjanjian perdagangan bebas untuk mendapatkan sumber mineral penting dari Indonesia, dengan alasan masalah lingkungan dan keselamatan.

Tanpa kesepakatan perdagangan bebas, baterai kendaraan listrik yang mengandung nikel olahan dalam jumlah besar di Indonesia tidak akan memenuhi syarat untuk mendapatkan kredit pajak besar di AS.

Lonjakan konsumsi batu bara akibat hal ini membuat nikel RI kurang menarik bagi produsen kendaraan listrik di negara-negara Barat, yang sudah menghadapi pertanyaan dari kelompok lingkungan hidup tentang dampak lingkungan dari operasi nikel yang luas.

Sebagai tanda meningkatnya kegelisahan ini, Wakil Direktur Baterai dan Material Kritis di Departemen Energi AS, Ashley Zumwalt-Forbes, menyuarakan keprihatinannya dalam unggahan LinkedIn bulan lalu tentang apa yang ia sebut sebagai cengkeraman nikel Indonesia yang kotor di pasar. Indonesia menyumbang setengah dari pasokan nikel global, naik dari seperempat pada tahun 2018.

Masalah nikel juga mendorong produsen kendaraan listrik untuk mengolah ulang aki mobil dan beralih ke produk bebas nikel. Alternatif lithium ferro phosphate (LFP) mulai mendapat perhatian, meski masih kalah kuat dibandingkan baterai yang mengandung nikel.

Selain nikel kotor, ada pertanyaan apakah kebijakan tersebut membawa Indonesia menuju tujuan hilirisasi yang diusung Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni peralihan ke sektor manufaktur yang bernilai lebih tinggi.