Mantan Menkeu Ungkap Dampak Perang Iran vs Israel terhadap Ekonomi Indonesia

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 15 April 2024 23:26 WIB
Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang S. Brodjonegoro (Foto: Ist)
Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang S. Brodjonegoro (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang S. Brodjonegoro mengungkapkan dampak konflik antara Iran dan Israel terhadap ekonomi Indonesia.

Adapun Iran melakukan serang terhadap Israel lantaran dipicu adanya serangan terhadap Konsulat Iran di Damaskus, Suriah pada 1 April 2024 lalu yang menewaskan para perwira tinggi militer Iran, sekaligus menandai pertama kalinya Iran menyerang Israel dari wilayahnya.

Iran kemudian membalas dengan melancarkan serangan balasan dengan menembakkan puluhan drone dan rudal bersenjata ke Israel pada Sabtu malam (13/4/2024).

Menurut Bambang, ada beberapa aspek utama yang akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia yakni, ketimpangan eksternal dengan neraca pembayaran, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.

Dia berpandangan bahwa, ketimpangan eksternal terkait dengan neraca pembayaran menjadi perhatian utama, terutama dengan adanya potensi gangguan distribusi melalui Terusan Suez, Laut Merah, dan wilayah sekitarnya. 

Selain itu, melemahnya permintaan global akibat suku bunga tinggi turut mempengaruhi prospek ekspor Indonesia, baik di sektor manufaktur maupun komoditas.

"Kalau lihat hari ini kenapa rupiah memang menghadapi pelemahan? sebelum ada itu Iran-Israel, itu lebih karena dolar menguat terhadap semua mata uang, kenapa dolar AS menguat ke semua mata uang? karena semua pihak dalam tanda petik mereka menyangka bahwa Federal Reserve [Bank sentral Amerika] akan melakukan pemotongan suku bunga," kata Bambang dalam webinar yang digelar oleh Eisenhower Fellowships Indonesia Alumni Chapter, Senin (15/4/2024).

Oleh karena itu, menurut Bambang, tantangan dari segi eksternal membuat rupiah kian tertekan atas dolar AS, sehingga ia meminta agar Bank Indonesia (BI) untuk mencoba menahan fluktuasi nilai tukar dolar agar bisa lebih di stabilitas dengan intervensi. 

Namun, hal tersebut menurutnya juga tidak serta merta dapat dilakukan begitu saja.

"Kalaupun misalnya BI menaikkan suku bunga, barangkali juga efeknya tidak terlalu kuat, karena memang yang terjadi adalah dollar menguat terhadap semua mata uang sebagai akibat tingkat bunga yang tinggi, ditambah sekarang gara-gara Iran Israel," jelasnya.

"Seperti biasa investor akan safe haven [memilih investasi berisiko rendah]. Akan mencari tempat yang paling aman. Tempat yang paling aman itu selalu dua; satu dolar AS mata uang, satu lagi USD treasury bond," tambahnya.  

Selanjutnya, menurut dia, inflasi juga menjadi faktor yang perlu diwaspadai. 

Kata Bambang, harga-harga bergejolak, terutama harga beras, serta kemungkinan lonjakan harga minyak akibat konflik Iran-Israel, dapat berdampak pada inflasi di Indonesia.

Dimana, hal ini kata ia berdasarkan pada pengalaman di tahun 2022 saat harga minyak melonjak akibat perang Rusia-Ukraina telah memicu kenaikan inflasi di atas 5%.

"Ketika Minyak yang ada tembus satu juta dollar [per barel] kita juga ikut terpaksa [menerima] pemerintah harus menaikkan harga BBM karena subsidinya artinya sudah terlalu banyak," kata Bambang.

Sehingga ia memperkirakan bahwa akan ada tekanan inflasi yang tinggi karena berbagai faktor seperti permasalahan harga pangan dalam negeri yang bergejolak, hingga adanya kemungkinan inflasi dari harga yang telah diatur atau ditetapkan oleh pemerintah.

"Apakah itu BBM, apakah LPG atau yang lainnya ditambah tentunya jangan lupa di importir, dan sebagai akibat dari pelemahan rupiah, dan juga sebagai akibat dari gangguan distribusi."

Terakhir terkait pertumbuhan ekonomi, target 5% oleh pemerintah pada tahun ini menurut Bambang masih mungkin dicapai, asalkan eskalasi konflik Iran-Israel tidak semakin besar atau berkepanjangan.

"Kalau eskalasi ini menjadi lebih besar atau lebih lama paling tidak atau menimbulkan kegamangan bagi banyak pihak mungkin akan challenging target 5% mungkin bisa agak terdorong ke bawah ke 4,6 atau sampai 4,8%," tegasnya.

Oleh karenanya, ia menyoroti pentingnya konsumsi dalam negeri sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.