Soal HPL Rempang Galang, Himad Purelang Tak Yakin Menteri ATR/BPN Tabrak Aturan

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 10 Juni 2024 21:00 WIB
Ketua Umum Himpunan Masyarakat Adat Pulau Rempang Galang (Himad Purelang), Mustaryatim, menyatakan bahwa sulit untuk memahami apalagi untuk mempercayai pernyataan Muhammad Rudi baik sebagai Kepala BP Batam maupun sebagai Wali Kota Batam, terkait permasalahan di Rempang Galang.
Ketua Umum Himpunan Masyarakat Adat Pulau Rempang Galang (Himad Purelang), Mustaryatim, menyatakan bahwa sulit untuk memahami apalagi untuk mempercayai pernyataan Muhammad Rudi baik sebagai Kepala BP Batam maupun sebagai Wali Kota Batam, terkait permasalahan di Rempang Galang.

Jakarta, MI - Pemerintah dan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) tengah berupaya menghadirkan relokasi bagi masyarakat Pulau Rempang imbas pembangunan Rempang Eco-City. 

Kementerian PUPR bertugas menata kawasan tersebut, sedangkan BP Batam akan menyiapkan pembangunan hunian warga. Adapun rumah untuk warga yang direlokasi punya luas 500 meter dan akan diberikan sertifikat hak milik oleh Kementerian Agraria/Badan Pertanahan Nasional. 

Rumah untuk warga tersebut diperkirakan bernilai Rp 120 juta. Hingga saat ini, tercatat ada 961 KK yang terdampak proyek pengembangan Rempang Eco City tahap 1.

Terkait Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di Rempang Galang itu, baru-baru ini Kepala BP Batam Muhammad Rudi mengklaim bahwa sudah diperoleh pihaknya dari Kementerian ATR/BPN. 

Kendati, hal itu sulit dipercaya masyarakat adat Pulau Rempang Galang. Kata Ketua Umum Himpunan Masyarakat Adat Pulau Rempang Galang (Himad Purelang), Mustaryatim, menilai apa yang dikatakan Rudi selalu tidak benar. 

"Publik ingatkan bagaimana dia kerap berkata bukan sesuai fakta. Terkait Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang diklaim sudah diperoleh BP Batam dari Kementerian ATR/BPN, sulit untuk mempercayainya," kata Mustaryatim kepada wartawan, Senin (10/6/2024).

Menurutnya, pemberian HPL harus diikuti dengan tindakan konkret sebelumnya terhadap masyarakat yang ada di atas tanah tersebut. "HPL itu terkait status tanah. Rudi tidak bisa mengklaim HPL sudah diberikan kepada BP Batam tanpa pengumuman resmi dari Kementerian ATR/BPN," tambahnya.

Mustaryatim menegaskan bahwa pengumuman Kementerian ATR/BPN harus disertai dengan publikasi yang jelas, termasuk pembebasan lahan dan kompensasi bagi warga yang ada di atas tanah yang dilekatkan HPL. "Kami tidak yakin Menteri ATR/BPN mau menabrak aturan yang berlaku," tandasnya.

BP Batam Tak Punya Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan Rempang
Masalah lahan di Rempang itu sebelumnya telah dilakukan penanganan dugaan maladministrasi oleh Ombudsman RI. Hasilnya, ditemukan hak pengelolaan tidak dikantongi BP Batam.

Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro menerangkan, sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pulau Rempang belum dimiliki BP Batam.

"Hak Pengelolaan yang dimohonkan pihak BP Batam belum diterbitkan dengan alasan lahan belum clean and clear karena masih dikuasai oleh masyarakat," ujar johanes dalam jumpa pers di Kantor Ombudsman RI, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (27/9/2023).

Dari hasil investigasi Ombudsman RI hanya ditemukan sebuah surat keputusan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk BP Batam.

"Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan untuk lahan Area Penggunaan Lain (APL) telah terbit dari Menteri ATR/BPN tertanggal 31 Maret 2023 dan akan berakhir pada tanggal 30 September 2023," katanya sambil menyebutkan surat dimaksud.

Meskipun SK dari Kementerian ATR/BPN tersebut dapat diperpanjang dengan persetujuan Menteri ATR/BPN berdasarkan permohonan BP Batam, namun Ombudsman RI menilai ada masalah administrasi dalam pengelolaan lahan Rempang.

Karena dia juga mendapati ketidaksesuaian antara kebijakan BP Batam dengan janji kompensasi terhadap warga yang digusur karena akan dibangun Rempang Eco City.

"Warga sudah turun temurun berada di Pulau Rempang, selain itu juga tidak adanya jaminan terhadap mata pencaharian warga," tegas Johanes.

"Berdasarkan keterangan dari BP Batam, terkait dengan pemberian kompensasi berupa rumah pengganti maupun uang tunggu dan hunian sementara bagi warga terdampak, memerlukan dasar hukum agar program berjalan," imbuhnya.