FITRA Desak DPR Evaluasi Gubernur BI Perry Warjiyo Buntut Rupiah Terpuruk dan Korupsi CSR BI

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 18 Februari 2025 15:34 WIB
Badiul Hadi, Manager Riset di Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) (Foto: Dok MI/Aswan)
Badiul Hadi, Manager Riset di Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Nama Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo semakin santer menjadi salah satu pejabat yang akan terdampak dari kewenangan baru DPR dalam rumusan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat (Tatib DPR) yang baru. 

Di sisi lain, dia tengah berhadapan dengan korupsi dana tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) usai digeledah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin, 16 Desember 2024 malam. Bahkan, CSR BI yang melibatkan sejumlah anggota Komisi XI DPR periode 2019-2024.

Dalam revisi tersebut memang membuka ruang bagi DPR untuk mengevaluasi secara berkala pejabat negara yang telah dipilih. Melihat kata ‘pengawasan’ dan ‘evaluasi’ saja yang terdapat dalam revisi Tatib itu, publik dengan mudah menafsirkan adanya kewenangan DPR yang sangat besar terhadap para pejabat itu. 

DPR bisa memberikan evaluasi dan itu berarti memberikan rekomendasi kepada presiden untuk mengganti para pejabat negara yang dipilih dari hasil uji kelayakan dan kepatutan (Fit and Proper Test) DPR. Artinya DPR tidak bisa mencopot jabatannya tetapi tentu saja hasil evaluasi itu akan menjadi tekanan terhadap Presiden untuk menggantinya.

Meski, revisi tatib DPR RI itu tidak serta merta dapat mencopot orang nomor satu di Bank Indonesia itu, namun jika Perry Warjiyo tetap tidak bisa mengendalikan kurs rupiah dan terlibat dalam dugaan rasuah itu, maka tidak ada alasan lagi untuk tidak segera diganti.

"Sangat penting komisi XI DPR untuk memanggil jajaran BI terkait nilai tukar rupiah dan pengelolaan CSR. Jika dugaan keterlibatan Gubernur terbukti dalam kasus korupsi CSR BI maka harus diganti," kata Badiul Hadi, Manager Riset di Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) saat ditemui Monitorindonesia.com, Selasa (18/2/2025) siang.

Setidaknya dalam kurun waktu dia tahun terakhir nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami fluktuasi dengan tren pelemahan. Situasi ini memiliki efek domino ke berbagai sektor seperti inflasi dan investasi. 

Pada Oktober 2023 Rupiah mengalami pelemahan diangka Rp15,706 per Dolar AS. Pelemahan itu berlanjut pada tahun berikutnya (2024), pada periode April 2024 rupiah semakin terdepresiasi hingga Rp16,263 per Dolar AS, bahkan di akhir 19 Desember tahun 2024 rupiah semakin terpuruk diangka Rp16.422 per Dolar AS.

Keterpurukan rupiah tidak kunjung usai, seolah rupiah sulit bangkit dari keterpurukan, hari ini (18/2/2025) BI dolar masih menguat di angka Rp16.289 per Dolar AS. 

"Dengan kondisi ketidakpastian saat ini, banyak pihak memprediksi pelemahan rupiah akan terus terjadi bahkan menyentuh angka Rp.17.000 per Dolar AS," jelasnya.

Menurut dia, hal ini menjadi tantangan berat bagi BI yang memiliki fungsi dan tugas menjaga  stabilitas nilai tukar rupiah. "Dengan perjalanan pelemahan rupiah, sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi secara menyeluruh atas kinerja BI. reformasi birokrasi BI harus dijalankan, untuk mengoptimalkan kinerja BI," ungkapnya.

"Dan tidak kalah penting perlu ada audit investigasi pengelolaan CSR BI dan mendorong KPK agar lebih progresif dalam penanganan dugaan korupsi, untuk membongkar pihak-pihak yang terlibat baik internal dan eksternal BI," tambah Badiul.

Adapun Warjiyo telah menjabat sebagai Gubernur BI sejak 2018. Ia diangkat kembali pada 2023 dan masa jabatannya akan berlangsung hingga 2028. Ia dicalonkan oleh pendahulu Prabowo, Joko Widodo, dan memperoleh persetujuan parlemen untuk jabatan tersebut. Pun dia calon tunggal saat itu.

Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Yasonna Laoly, sempat mengklaim bahwa aturan Tatib tersebut tak dapat mengikat para pejabat di luar lembaga legislatif tersebut. 

Menurutnya, Tatib DPR tersebut semata mempertegas kewenangan DPR untuk melakukan pengawasan melalui proses evaluasi terhadap para pejabat yang dipilih melalui mekanisme fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan. “Ga ga, ga bisa mengatur eksternal itu,” kata Yasonna, Selasa (18/2/2025).

Meski demikian, dia tak menampik komisi yang berkaitan dengan Bank Indonesia bisa memberikan evaluasi terhadap kinerja gubernur dan para deputi gubernur. Evaluasi tersebut, kata dia, tak serta merta langsung berdampak pada keputusan mencopot atau melanggengkan masa jabatan para petinggi bank sentral tersebut. “Iya [hanya untuk evaluasi saja],” kata Yasonna.

Dalam bunyi revisi tatib DPR tersebut dijelaskan DPR diberi ruang untuk meninjau kembali kinerja pejabat yang telah mereka tetapkan melalui fit and proper test. Sehingga, DPR dapat memberikan rekomendasi pemberhentian terhadap Komisioner dan Dewan Pengawas KPK, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), Panglima TNI, Kepala Polri, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Gubernur dan Deputi Gubernur BI, hingga pimpinan sejumlah komisi atau lembaga negara lainnya.

Kendati demikian, Badiul menambahkan bahwa kewenangan melakukan evaluasi dalam revisi Tatib meningkatkan posisi tawar DPR sehingga bisa membuka ruang penyalahgunaan wewenang. 

Misalnya jika ada keterlibatan anggota DPR dalam sebuah kasus, aturan ini dapat dijadikan ‘ancaman’ kepada pejabat negara untuk tidak melakukan pengusutan. Atau menciptakan celah korupsi karena dijadikan tawar menawar dan lobi-lobi untuk mendapatkan proyek dan sebagainya.

"Namun, perlu dicatat bahwa dalam banyak kasus, keterlibatan anggota DPR dalam lobi-lobi semacam ini sulit dibuktikan secara hukum, meskipun isu atau indikasinya sering muncul dalam laporan media dan investigasi lembaga independen," kata Badiul mengakhiri perbincangannya. (wan)

Topik:

FITRA Tatib DPR Korupsi CSR BI Gubernur BI Perry Warjiyo KPK