MinyaKita Bakal Dihapus dan Diganti BLT, Ini Kata Kemendag

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 14 Maret 2025 15:55 WIB
MinyaKita (Foto: Dok MI)
MinyaKita (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuka kemungkinan mengubah program Minyak Goreng Rakyat (MGR) atau MinyaKita menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT). 

Langkah ini dipertimbangkan sebagai respons terhadap berbagai polemik yang muncul terkait distribusi minyak goreng murah yang dicanangkan pemerintah.

"Kebijakan terus dievaluasi untuk menjaga relevansi," ucap Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Iqbal Shoffan Shofwan, Jumat (14/3/2025). 

"Bisa demikian [diganti jadi BLT], bisa juga malah lebih diintensifkan," tambahnya.

Namun, Iqbal menegaskan bahwa hingga saat ini pemerintah masih berpegang pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 18/2024, yang mengatur tata kelola MGR, termasuk kebijakan domestic market obligation (DMO).

Beleid tersebut diterbitkan sebagai bagian dari penyempurnaan regulasi minyak goreng (migor) sebelumnya yang ditetapkan dalam Permendag No. 49/2022.

Dalam aturan tersebut, produsen minyak goreng yang telah mendistribusikan MGR atau MinyaKita berhak memperoleh Hak Ekspor (HE) produk turunan kelapa sawit untuk migor atau Refined, Bleached, and Deodorized Palm Olein (RBDPL).

MGR diakui sebagai HE apabila produsen atau distributor memberikan produk ke BUMN Pangan (D1) dan juga pengecer (D2) jika bukan ke D1.

Selain itu, produsen yang menyalurkan MGR ke wilayah tertentu, dalam bentuk kemasan tertentu, atau melalui distributor khusus akan mendapatkan insentif tambahan dalam bentuk faktor pengali untuk Hak Ekspor (HE).

Rinciannya, produsen yang mendistribusikan MGR dalam bentuk kemasan bantal akan memperoleh faktor pengali 2 sedangkan untuk kemasan selain bantal sebesar 2,25.

Untuk regional, Faktor pengali untuk wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Lampung, Riau, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara adalah 1.

Wilayah Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo adalah 1,3. Sementara itu, wilayah Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Utara adalah 1,5.

Lebih lanjut, faktor pengali wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya adalah 1,65. 

Produsen yang menyalurkan MinyaKita ke BUMN Pangan atau distributor tingkat 1 (D1) akan mendapatkan insentif tambahan dalam bentuk HE dengan faktor pengali 1,2.

"[Skema DMO dari pemerintah masih] sesuai dengan Permendag 18/2024," kata Iqbal.

Sebelumnya, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengusulkan pemerintah untuk mengganti program MinyaKita menjadi skema bantuan langsung tunai (BLT), bersamaan dengan polemik minyak goreng murah gagasan pemerintah belakangan ini.

Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga, menilai bahwa program MinyaKita, yang diperkenalkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) di era Zulkifli Hasan pada Juli 2022, hingga kini tidak berjalan efektif dan justru menciptakan distorsi pasar.

Menurutnya, kebijakan ini bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat, karena sejak peluncurannya, MinyaKita semakin mendominasi pasar, mengurangi ruang bagi kompetisi yang seimbang.

"Model minyak goreng begini apa kita tetap pertahankan? Sudah mau empat tahun, waktu itu 2022, 2023, 2024, dan sekarang 2025. Ini sudah menyalahkan regulasi. [...] Jadi sudah tidak ada kompetisi," tuturnya, belum lama ini.

"Pembagiannya itu jangan berupa produk [seperti MinyaKita], lebih baik BLT, jadi Bantuan Langsung Tunai," jelasnya.

Sahat juga menyoroti peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam menegakkan prinsip kompetisi pasar yang sehat, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Meskipun MinyaKita awalnya diluncurkan untuk menstabilkan harga minyak goreng di pasar domestik, faktanya harga minyak goreng di Indonesia masih tetap tinggi. Apalagi, kata Sahat, Indonesia juga merupakan negara produsen minyak sawit terbesar dunia.

"Ini sebuah ironi. Kita produsen terbesar, kenapa harga minyak goreng kita tinggi? Jadi kalau saya berpendapat, pemerintah yang harus membuat regulasi, bahwa produk minyak untuk domestik harusnya dibedakan dengan minyak untuk ekspor,” pungkas Sahat.

Topik:

minyakita blt kemendag