Industri Nikel Tertekan, APNI Desak Pemerintah Batalkan Kenaikan Royalti

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 25 Maret 2025 21:49 WIB
APNI Meminta Pemerintah Membatalkan Kenaikan Tarif Royalti Nikel (Foto: Ist)
APNI Meminta Pemerintah Membatalkan Kenaikan Tarif Royalti Nikel (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan keberatannya terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan tarif royalti nikel dari 10% menjadi progresif 14% hingga 19%. 

Keberatan ini telah disampaikan melalui surat resmi yang dikirimkan kepada sejumlah pihak, termasuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Komisi VII dan Komisi VI DPR RI, serta Presiden Republik Indonesia.

"Ya, termasuk ke Presiden. Selain ke Presiden, Komisi XII DPR RI, Komisi VI DPR RI, kemudian Menko Ekonomi, Dewan Ekonomi Nasional, Kepala Staf Presiden, Menteri Keuangan, Menteri Pendidikan, Menteri Perdagangan, sampai BKPM," ujar Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey, kepada awak media, Selasa (25/3/2025).

Meidy menambahkan, kenaikan tarif royalti bukan satu-satunya tantangan yang dihadapi perusahaan tambang. Selain itu, mereka juga harus mengatasi beban biaya lainnya, seperti kenaikan tarif bahan bakar biodiesel dari B30 ke B40, kenaikan upah minimum regional (UMR) sebesar 6,5%, serta kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. 

Selain itu, kata Meidy, eksportir nikel diwajibkan menempatkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) 100% di dalam negeri selama satu tahun serta menghadapi penerapan pajak minimum global sebesar 15%.

Ia menambahkan, jika tarif royalti naik dari 10% menjadi 14-19%, maka beban perusahaan akan semakin berat. Berdasarkan perhitungan APNI, tarif royalti 14% berlaku jika harga nikel mencapai US$18.000 per ton. Namun, analis global memperkirakan harga nikel tahun ini justru akan terus menurun.

"Kalau biaya produksi yang terlalu tinggi, di mana harga makin turun, tentu kan perusahaan tidak ada margin lagi. Nah, bagaimana kalau perusahaan tidak ada margin? Pada saat dia tidak ada margin, tentu dia akan mengurangi kapasitas produksi. Kalau sudah mengurangi kapasitas produksi, ujung-ujungnya penerimaan negara jadi berkurang," beber Meidy.

APNI juga menyoroti sejumlah kewajiban tambahan yang harus dipenuhi oleh perusahaan tambang, termasuk iuran tahunan tetap, pajak bumi dan bangunan, serta dana jaminan untuk reklamasi dan penutupan tambang. 

Selain itu, perusahaan juga dibebani dengan biaya rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), retribusi penggunaan air, pajak untuk alat berat dan air permukaan, hingga kontribusi dalam bentuk sponsor untuk berbagai acara di tingkat daerah maupun nasional.

Topik:

apni nikel royalti-nikel