BPK Sebut Proyek Digitalisasi SPBU Bebani Keuangan Telkom Rp 181 M

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 11 Juni 2025 11:07 WIB
SPBU Pertamina (Foto: Istimewa)
SPBU Pertamina (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan bahwa investasi dan pelaksanaan pekerjaan digitalisasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) tidak sesuai ketentuan dan berpontensi membebani keuangan PT Telkom sebesar Rp 181.332.921.337,75.

Hal ini sebagaimana termaktub pada hasil pemeriksaan kepatuhan PT Telkom tahun 2020 sampai dengan 2022 (Semester I). Bahwa PT Telkom dan PT Pertamina (Persero) (Pertamina) menyepakati perjanjian pengadaan dan manage service digitalisasi SPBU melalui kontrak nomor SP-12/C00000/2019-SO tanggal 18 April 2019.

Pekerjaan tersebut berupa pembuatan monitoring distribusi dan transaksi penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) pada 5.518  SPBU Pertamina secara near real-time sesuai SLA yang disepakati.

"Nilai maksimal kontrak adalah sebesar Rp 3.626.658.426.755,00 belum termasuk PPN 10% atau jumlah maksimal volume BBM sebanyak 237.813.668.939,00 liter," tulis hasil pemeriksaan tersebut sebagaimana diperoleh Monitorindonesia.com, Rabu (11/6/2025).

BPK Sebut Proyek Digitalisasi SPBU Bebani Keuangan Telkom Rp 181 M

Pertamina melakukan pembayaran atas manage service Digitalisasi SPBU kepada PT Telkom secara bulanan dengan metode throughput fee/liter berdasarkan total sebesar Rp15,25 per liter. 

Kontrak berlaku sejak pelaksanaan kick off meeting tanggal 4 Oktober 2018 sampai dengan tanggal 31 Desember 2023 atau sampai dengan nilai kontrak tercapai (mana yang lebih dulu tercapai) dengan ruang lingkup pekerjaan yaitu data center dengan metode cloud service, penyediaan sistem dan infrasktuktur pendukung pada 5.518 SPBU termasuk pembuatan izin kerja dan sosialisasi ke SPBU, dan penyediaan managed service sesuai dengan SLA.

Jenis SPBU yang masuk dalam lingkup kerja sama sejumlah 5.518 SPBU terdiri dari: 

1) SPBU CODO: Corporate Owned Dealer Operated, yaitu SPBU milik Pertamina dan dioperasikan oleh swasta (208 SPBU); 

2) SPBU DODO: Dealer Owned Dealer Operated, SPBU milik swasta dioperasikan swasta (5.071 SPBU);

3) SPBU COCO: Corporate Owned Corporate Operated, yaitu SPBU milik Pertamina dan dioperasikan oleh Pertamina (178 SPBU); dan

4) 61 SPBU yang jenisnya tidak teridentifikasi. 

"Pekerjaan pengadaan dan pemasangan sistem, infrastruktur pendukung, dan data center dilaksanakan dengan nilai kontrak sebesar Rp2.838.092.914.775,00 dan jangka waktu pekerjaan dari tanggal 4 Oktober 2018 (tanggal kick off meeting) sampai dengan tanggal 31 Desember 2019," tulis hasil pemeriksaan BPK.

Kemudian, PT Telkom menunjuk beberapa mitra untuk melaksanakan pekerjaan implementasi perangkat dan sistem Digitalisasi SPBU dan pekerjaan managed service (periode pelaksanaan 5 tahun sejak tanggal 1 Januari 2019 sampai dengan 31 Desember 2023).

Hasil pengujian terhadap perencanaan pekerjaan menunjukkan bahwa analisi kelayakan bisnis dan penyusunan klausul perjanjian berpotensi merugikan PT Telkom dengan uraian penjelasan sebagai berikut: 

1. Klausul kontrak berpotensi merugikan perusahaan

a) Ketentuan jangka waktu manage service dimulai sejak sistem siap pakai di SPBU yang dinyatakan dalam BAST dan BALP 

"Kontrak menyatakan bahwa penagihan awal biaya manage service harus dilampiri dengan dokumen BAST dan BALP yang distempel dan ditandatangani di atas meterai, invoice, dokumen User Acceptance Test (UAT), dan Laporan Penerimaan Data SPBU di data center," tulis hasil pemeriksaan BPK.

Hasil analisis dokumen menunjukkan bahwa terdapat selisih waktu antara pelaksanaan UAT dengan penandatanganan BAST dengan rentang waktu dari 0 hari sampai dengan 539 hari dengan rincian sebagai berikut:

BPK Sebut Proyek Digitalisasi SPBU Bebani Keuangan Telkom Rp 181 M

Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas pengelolaan pertanggungjawaban Keuangan tahun buku 2017 sampai dengan 2019 (Semester 1) pada PT Telkom Nomor 34/AUDITAMA VII/PDTT/07/2021 tanggal 23 dan SPBU pada dashboard, pelaksanaan UAT dan pelaksanaan penandatanganan BAST yang menjadi syarat penagihan hasil pekerjaan Digitalisasi SPBU. 

Jeda waktu tersebut mempengaruhi perhitungan throughput fee/liter yang dapat ditagihkan oleh PT Telkom, sehingga untuk periode 1 Januari 2019 sampai dengan 30 November 2019 terdapat throughput GUL 2021 telah mengungkapkan adanya jeda antara terpantaunya penjualan HONA yang tidak dapat ditagihkan sebesar Rp193.257.429.614,09.

Lebih lanjut, penelusuran data transaksi BBM pada dashboard menunjukkan masih tetap terjadi jeda waktu antara data transaksi penjualan pada SPBU berstatus ready-UAT yang sudah masuk ke sistem data center dengan pelaksanaan penandatanganan BAST. 

Untuk periode 1 Januari 2019 sampai dengan 4 April 2022 (tanggal BAST terakhir), volume penjualan BBM pada 5.518 SPBU adalah sebesar 82.098.386.400 liter, sedangkan data rekonsiliasi bulanan menyebutkan volume penjualan pada periode tersebut hanya sebesar 59.773.306.650 liter. 

"Sehingga, PT Telkom tidak dapat menagihkan biaya manage service untuk transaksi penjualan BBM sebesar 22.325.079.750 liter (82.098.386.400 liter - 59.773.306.650 liter) dan kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp340.457.466.187,50 (22.325.079.750 liter x Rp15, 25)," tulis hasil pemeriksaan BPK itu.

b) Pembuatan izin kerja dan sosialisasi ke SPBU dilaksanakan PT Telkom

Perjanjian menyatakan bahwa PT Telkom setuju untuk melaksanakan pembuatan izin kerja dan sosialisasi ke SPBU. Namun, kendala perizinan mengakibatkan keterlambatan pelaksanaan pekerjaan implementasi perangkat dan sistem Digitalisasi SPBU sehingga PT Telkom tidak dapat segera memperoleh pendapatan dari layanan manage service. 

"Kendala terjadi terutama pada SPBU DODO yang tidak bersedia izin kerja kepada PT Telkom," tulis hasil pemeriksaan BPK itu.

Pekerjaan implementasi perangkat dan sistem Digitalisasi SPBU sesuai kontrak disepakati selesai seluruhnya pada tanggal 31 Desember 2019, namun realisasi penyelesaiannya untuk 5.518 SPBU adalah pada tanggal 4 April 2022. 

Hal tersebut mengakibatkan proyeksi perolehan pendapatan tidak mencapai nilai sesuai kontrak sampai kontrak berakhir.

2) Analisi kelayakan bisnis tidak mempertimbangkan aspek teknis pekerjaan 

PT Telkom melaksanakan uji coba perangkat dan sistem hanya pada SPBU COCO dan tidak terdapat kendala teknis maupun perizinan karena telah terdapat perangkat digitalisasi existing (milik Pertamina). 

PT Telkom hanya perlu menambah perangkat router dan Electronic Data Capture (EDC). Namun uji coba tersebut tidak menggambarkan kondisi dan environment atas keseluruhan 5.518 SPBU dalam lingkup kontrak, terutama pada 5.071 SPBU DODO atau 91.90% dari total SPBU dikerjasamakan.

"PT Telkom tidak melakukan identifikasi dan mitigasi potensi permasalahan pada SPBU DODO yang dapat menyebabkan pelaksanaan pekerjaan terlambat sehingga penerimaan pendapatan PT Telkom berisiko tidak mencapai nilai kontrak," tulis hasil pemeriksaan BPK itu.

Hal tersebut dapat dilihat dari dokumen notulen rekonsiliasi pekerjaan antara PT Telkom dan Pertamina tanggal 13 Januari 2021 yang menyebutkan banyaknya permasalahan teknis menghambat kelancaran pelaksanaan kontrak yang seharusnya bersifat controllable dan menjadi pertimbangan bagi PT Telkom dalam merencanakan aspek teknis pekerjaan pada penyusunan analisis kelayakan bisnis, yang dapat dijelaskan sebagai berikut. 

a) Kendala material Digitalisasi SPBU yang belum dipenuhi oleh PT Telkom; 
b) Terdapat SPBU yang belum terpenuhi perangkatnya antara lain berupa ATG concole dan 16 SPBU yang belum terpenuhi material router;
c) Kendala proses integrasi perangkat Digitalisasi SPBU, di antarannya:

(1) Dispenser pada SPBU belum siap diintegrasikan karena terdapat kerusakan komunikasi port dan dispenser obsolete;
(2) Type dan protocol dispenser beragam serta communication board dispenser tidak standar sehingga PT Telkom perlu meminta asistensi kepada principle dispenser. 

d) Kendala perizinan dari SPBU, terutama pada SPBU DODO;
e) SPBU tutup sementara karena sedang renovasi dan SPBU tutup permanen; 
f) Kurangnya daya listrik pada sebagian kecil SPBU; 
g) Kendala sinyal koneksi dengan Telkomsel dan Telkomsat; dan 
h) Perubahan lokasi SPBU sebagai pengganti BU yang di drop.

"PT Telkom mengakui bahwa belum dipertimbangkan kendala teknis SPBU pemerolehan perizinan pada SPBU DODO dalam menyepakati kerja sama sesuai kontrak pengadaan digitalisasi SPBU," ulis hasil pemeriksaan BPK itu.

Dampak dari kelemahan dalam penyusunan klausul dan analisis kelayakan bisnis di atas adalah terjadinya keterlambatan penyelesaian pekerjaan implementasi perangkat dan sistem, tidak tercatatnya transaksi SPBU ke data center, dan tidak diterimanya pendapatan ke PT Telkom sesuai dengan uraian sebagai berikut: 

1) Penyelesaian pekerjaan implementasi perangkat dan sistem terlamba

Dokumen justifikasi kebutuhan investasi pekerjaan pengadaan menyebutkan pelaksanaan pekerjaan implementasi perangkat dan sistem digitalisasi SPBU akan dilakukan secara bertahap dengan rincian sebagai berikut:

a) Tahun 2018: pelaksanaan inisialisasi Data Center & Cloud Services dan implementasi sistem di 1.000 SPBU; 
b) Tahun 2019: implementasi sistem di 4.518 SPBU.

Namun, PT Telkom tidak dapat melaksanakan pekerjaan tersebut sesuai jangka waktu yang telah disepakati dalam kontrak. Melalui surat Nomor Tel. 53/YN000/COP-G0000000/2019 tanggal 21 November 2019, PT Telkom mengajukan perpanjangan jangka 1 pelaksanaan pekerjaan implementasi sistem dan perangkat Digitalisasi SPBU menjadi 30 Juni 2020. 

"Posisi per 21 November 2019, jumlah SPBU yang telah selesai diintegrasi adalah sejumlah 1.415 SPBU atau 25,64% dari target 5.518 SPBU, selesai UAT sejumlah 442 SPBU, dan selesai BAST sejumlah 299 SPBU," ulis hasil pemeriksaan BPK itu.

Saat ini, pihak PT Telkom dan Pertamina sedang proses pembahasan adendum kontrak, yang di antaranya terkait dengan pengenaan denda. Apabila dalam adendum tersebut tidak ada kesepakatan terkait pengenaan denda keterlambatan maka PT Telkom berpotensi dikenai denda maksimum sebesar 5% dari nilai kontrak yaitu sebesar Rp181.332.921.337,75. 

2) Terdapat SPBU yang data transaksinya tidak masuk ke data center sehingga tidak memberikan pemasukan pendapatan ke PT Telkom. 

Berdasarkan data Dashboard rekonsiliasi bulanan manage service Digitalisasi SPBU periode 1 Juli 2019 sampai dengan 31 Agustus 2022, diketahui bahwa bulannya terdapat antara 2 sampai dengan 369 SPBU yang datanya tidak masuk ke sistem data center, disajikan dalam diagram garis sebagai berikut:

BPK Sebut Proyek Digitalisasi SPBU Bebani Keuangan Telkom Rp 181 M

Secara akumulatif terdapat 7.764 SPBU selama periode 1 Januari 2019 sampai dengan 31 Agustus 2022 yang datanya tidak masuk ke sistem data center. 

Sehingga PT Telkom tidak memperoleh pemasukan pendapatan dari 7.764 SPBU sebesar Rp8.562.362,22 per bulan/SPBU atau senilai masuk ke data center disebabkan SPBU tutup, perangkat rusak, dan suku cadang habis serta kendala integrasi dispenser.

3) Proyek tidak memberikan nilai pendapatan ke PT Telkom sesuai kontrak

Pekerjaan implementasi sistem telah selesai dilaksanakan dengan nilai pekerjaan sebesar Rp1.572 miliar dengan realisasi biaya Operating Manage Service periode 2021 sampai dengan cut of 5 Desember 2022 Rp872 miliar.

Sehingga, total biaya pekerjaan Digitalisasi SPBU (Capital Expenditure dan Manage Service) per 31 Desember 2022 adalah sebesar Rp2.444 miliar (Rp1.572 miliar + Rp872 miliar). 

Sedangkan pendapatan dari manage Service per 31 Desember 2022 adalah sebesar Rp1.400 miliar. Sehingga, posisi per 31 Desember 2022, pendapatan PT Telkom minus sebesar Rp1.044 miliar (Rp 2.444 miliar - Rp 1.4000 miliar). 

"Sehingga, proyek ini tidak dapat mencapai Break Even Point (BEP) sesuai proyeksi payback periode selama 3,97 tahun," tulis hasil pemeriksaan BPK itu.

PT Telkom telah mengajukan pembahasan adendum pekerjaan Digitalisasi SPBU kepada Pertamina melalui Surat EVP Divisi Enterprise Services kepada SVP Retail Marketing & Sales dan SVP Enterprise IT PT Pertamina Nomor Tel. 1980/YN.000/DES-00000000/2020 tanggal 4 September 2020. 

Namun, atas pengajuan pembahasan adendum pekerjaan Digitalisasi SPBU tersebut Pertamina telah meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menjadi mediator dalam proses adendum kontrak kerja sama Pertamina Patra Niaga dengan PT Telkom.

Selain permasalahan di atas, hasil pengujian juga menunjukkan bahwa terdapat kelemahan dalam pelaksanaan pekerjaan manage service Digitalisasi SPBU dengan uraian sebagai berikut.

1) Pelaksanaan pekerjaan manage service tidak mencapai SLA Sehingga PT Telkom dikenakan penalti sebesar Rp7.275.884.779,09.

PT Telkom menerima penalti atas tidak terpenuhinya Manage periode bulan Juli 2019 sampai dengan bulan Agustus 2022 dengan nilai sebesar Rp7.275.884.779,09.

"SLA Manage Service tidak terpenuhi karena PT Telkom tidak mampu memenuhi Mean Time To (MTT) repair, dimana tingkat kerusakan perangkat terutama EDC sangat tinggi (tidak sesuai dengan prediksi di awal) dan melampaui tingkat kecepatan perbaikannya," jelas hasil pemeriksaan BPK itu. 

PT Pertamina Patra Niaga menyatakan bahwa terhitung per tanggal 11 Agustus 2022 tercatat perangkat EDC masih kurang sebanyak 10.774 unit dari total 22.072 unit sesuai kontrak. 

PT Telkom telah menyediakan back up EDC sebanyak 3% dari populasi, namun tingkat kkerusakan EDC cukup tinggi yang melampaui tingkat kecepatan perbaikannya.

2) Pemenuhan SLA manage service PT Telkom tidak sesuai kontrak di leve mitra dan level PT Telkom

Pekerjaan Manage Service oleh Telkomsigma dilaksanakan berdasarkan Perjanjian Induk Nomor K. TEL.5770/HK810/OPS-1000000/2021 tanggal 30 Desember 2020, Adendum K.TEL.040/HK.820/OPS-10000000/2021 tanggal 9 Maret 2021 tentang Pengadaan penyediaan kebutuhan Manage Operation Data Center, Dashboard NMS dan tenaga pendukung untuk layanan Digitalisasi SPBU Pertamina. 

Perjanjian yang diturunkan ke dalam perjanjian tersebut berupa MTT respons, MTT resolution, dan MTT repair untuk perangkat data center, dashboard dan NMS. 

Namun, hasil pekerjaan Manage Service pada kontrak antara PT Telkom dengan Telkomsigma (Infrastruktur Data Center, war room, dan pemenuhan jumlah personel serta kehadiran personel) tidak sesuai kontrak antara PT Telkom dengan Pertamina (MTT respon, MTT resolution and MTT repair untuk perangkat data center, dashboard dan NMS).

Selain itu, pekerjaan Manage Service layanan Digitalisasi SPBU Pertamina. Namun, hasil pekerjaan Manage Service pada kontrak antara PT Telkom dengan Telkom Akses (jumlah personil, kehadiran personil dan ketersediaan alat kerja dan sarana kerja) tidak sesuai kontrak antara PT Telkom dengan Pertamina (MTT respon, MTT resolution, dan MTT repair untuk perangkat ATG, FCC + POS, WAN dan EDC). 

Pemenuhan SLA atas pelaksanaan pekerjaan manage service di level mitra merupakan hal yang krusial supaya SLA di level PT Telkom dengan Pertamina juga dapat terpenuhi. PT Telkom harus menanggung pembayaran denda atau penalti atas tidak terpenuhinya SLA sesuai kontrak PT Telkom dengan Pertamina. 

"Namun PT Telkom tidak memperhitungkan denda atau penalti kepada mitra atas tidak terpenuhinya SLA tersebut," tulis hasil pemeriksaan BPK itu.

Atas temuan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Direksi PT Telkom agar melakukan koordinasi dengan PT Pertamina agar menyepakati solusi bersama untuk menghindari kerugian perusahaan yang lebih besar dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban para pihak.

Direktur Utama (Dirut) PT Telkom, Ririek Adriansyah, pada 10 April 2023 silam menyatakan akan menindaklanjuti sesuai rekomendasi BPK RI dengan target waktu 30 September 2023. 

Namun saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com pada Selasa (10/6/2025) soal apakah rekomendasi tersebut telah selesai ditindaklanjuti, Ririek tidak menjawab.

Sementara Assistant Vice President External Communication PT Telkom Indonesia, Sabri Rasyid, menyatakan pihaknya akan selalu menindaklanjuti temuan dan rekomendasi BPK. "Yang pasti Telkom akan selalu menindaklajuti temuan dan rekomendasi BPK," kata Sabri kepada Monitorindonesia.com.

Topik:

BPK Telkom Pertamina Digitalisasi SPBU SPBU Pertamina