Data SIM Diduga Bocor 1,3 Miliar! IAW: Ini Bahaya Digital dari Dalam Negeri

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 28 Juli 2025 15:36 WIB
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus (Foto: Dok MI)
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Jumlah SIM card aktif di Indonesia menjadi sorotan setelah klaim mengejutkan dari peretas Bjorka menyebutkan bahwa sebanyak 1,3 miliar data registrasi nomor ponsel telah bocor dan beredar di internet. 

Angka ini jauh di atas jumlah penduduk Indonesia yang hanya sekitar 280 juta jiwa, bahkan juga melebihi angka resmi 315 juta SIM card aktif per Mei 2025 yang dilaporkan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).

Menanggapi hal itu, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, mempertanyakan kejanggalan dalam sistem pengawasan dan validasi data nomor ponsel di Indonesia.

“Artinya, ada ratusan jutaan SIM card aktif yang tak punya logika demografis. Pertanyaannya, siapa yang punya, siapa yang pakai, dan siapa yang mengawasi?” tegasnya, Senin (28/7/2025).

Menurutnya, fenomena ini bukan hal baru. Sejak lebih dari satu dekade lalu, jumlah nomor ponsel aktif telah melampaui jumlah penduduk. 

Sebagai catatan, pada 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terdapat 435 juta nomor aktif, padahal populasi saat itu belum mencapai 270 juta jiwa.

“Sejak era ponsel massal 15 tahun lalu, kita hidup dalam situasi aneh, yaitu jumlah nomor aktif tidak pernah mencerminkan jumlah penduduk yang bisa diverifikasi,” katanya.

Meski regulasi teknis sudah tersedia, termasuk Permenkominfo No. 12/2016 dan pembaruan melalui Permenkominfo No. 5/2021, celah di lapangan tetap terbuka lebar. 

Penjualan kartu SIM tetap bisa dilakukan secara daring tanpa verifikasi identitas yang valid, bahkan aturan pembatasan tiga nomor per NIK tidak benar-benar diterapkan.

Situasi ini telah membuka celah bagi berbagai bentuk penyalahgunaan, seperti transaksi judi online dengan nomor fiktif, penipuan OTP, serangan phishing lewat SMS massal, hingga penyebaran hoaks oleh bot politik.

“Kalau negara gagal menutup lubang ini, maka kita bukan hanya bicara soal kerugian finansial, tapi juga ancaman terhadap pemilu, ketertiban umum, dan integritas demokrasi,” jelasnya.

Tak hanya itu, sorotan juga diarahkan pada vendor penyedia SIM card, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang memasok chip ke operator-operator besar di Indonesia. 

Namun, belum pernah ada audit terbuka terhadap rantai pasok, enkripsi chip, hingga kecocokan antara kartu yang aktif dengan identitas pengguna sebenarnya.

Selain soal distribusi SIM, IAW juga menyoroti praktik penghangusan kuota oleh operator. Pelanggan kerap hanya menggunakan sebagian dari paket data yang dibeli, sementara sisanya hangus tanpa ada pengembalian nilai atau rollover.

“Hendaknya korporasi provider memiliki moral yang tinggi jika mengetahui posisi konsumennya dirugikan, walau karena regulasi yang belum berlaku adil. Jangan pula malah merasa nyaman bahkan menikmati kondisi 'zona' yang buruk bagi konsumen tersebut,” tuturnya.

Distribusi kartu SIM yang tidak terkendali serta lemahnya pengawasan dari negara terhadap penggunaannya dinilai sebagai pemicu utama maraknya kejahatan digital di Indonesia. 

Indonesian Audit Watch (IAW) menilai bahwa celah pada sistem ini bukan hanya merugikan masyarakat sebagai konsumen, tetapi juga berpotensi mengguncang stabilitas demokrasi dan mengancam kedaulatan ruang digital nasional.

Akar dari berbagai ancaman digital justru muncul dari dalam negeri, bukan dari luar. Ia menekankan pentingnya negara segera mengambil alih kendali atas aspek paling mendasar dalam dunia digital, yakni kartu SIM.

“Dari saku baju, SIM card bisa menembus sistem keuangan negara, mengguncang pemilu, hingga menyuburkan kejahatan online. Kartu yang ongkos produksinya dikisaran Rp1.100 sampai Rp1.200 itu sungguh cukup merepotkan republik kita,” imbuhnya.

Ia menilai, hingga saat ini belum pernah dilakukan audit menyeluruh terkait keabsahan nomor aktif, SIM zombie, hingga kerugian akibat kuota hangus. Audit BPK sejauh ini hanya menyentuh laporan keuangan Kementerian Kominfo.

“Padahal, audit inilah yang akan bisa membantu membuka tabir kriminal digital sistemik di Indonesia,” katanya.

Untuk menutup berbagai celah tersebut, IAW mengusulkan empat langkah strategis yang dinilai perlu segera diambil oleh pemerintah

  • Audit BPK terhadap registrasi dan vendor SIM card, dengan melibatkan Dukcapil, PPATK, dan BSSN. Provider harus bertanggung jawab secara etis dan sistematis atas nomor-nomor yang digunakan untuk merugikan konsumen, sesuai dengan lingkup bisnisnya.
  • Revisi UU Perlindungan Konsumen, dengan menambahkan pasal baru yang mengatur hak atas kuota digital yang tidak terpakai, guna mencegah praktik manipulatif melalui pengabaian informasi (fraud by omission).
  • Penerapan whitelist nasional untuk SIM card, di mana hanya nomor yang sudah diverifikasi langsung ke Dukcapil yang dapat digunakan untuk layanan digital vital seperti perbankan, e-wallet, dan pendaftaran pemilu.
  • Satgas judi online perlu menyasar distribusi kartu SIM, bukan hanya fokus pada pemblokiran situs. Karena akar transaksinya justru berasal dari nomor-nomor tak terlacak.

“SIM card hanya seukuran iklan baris, tapi ia adalah kunci masuk ke ruang digital nasional: rekening, e-wallet, pinjol, pendaftaran pemilu, dan identitas online,” terangnya.

Ia menilai, jika aparat negara memiliki komitmen serius, menelusuri penyalahgunaan nomor fiktif atau kerugian akibat kuota hangus sebenarnya bukan hal yang sulit. 

Dengan melakukan audit sistem digital, misalnya melalui Signaling System 7 atau pemeriksaan Home Location Register (HLR), pemerintah dapat melacak keberadaan semua nomor yang tidak digunakan atau tidak terverifikasi secara akurat.

“Jika negara tak mampu mengendalikan kartu sekecil ini, maka negara bisa kehilangan kendali atas rakyatnya sendiri, di ruang yang tak terlihat, yakni dunia digital,” tutupnya.

Topik:

sim-card kementerian-komunikasi-dan-digital iaw