Kemenkeu Tanggapi Potensi Rp524 T dari Pajak Baru

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 13 Agustus 2025 15:24 WIB
Kementerian Keuangan (Foto: Dok MI)
Kementerian Keuangan (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menanggapi laporan terbaru Center of Economic and Law Studies (Celios) yang memproyeksikan potensi tambahan penerimaan negara hingga Rp524 triliun dari penerapan sejumlah skema pajak baru.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menyebut masukan ini menjadi momentum penting bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan fiskal yang lebih efektif. Ia menilai, kajian tersebut menjadi masukan bagi pemangku kepentingan atau stakeholders.

"Saya senang, sebenarnya pada prinsipnya mendengarkan banyak catatan dan masukan. Saya mengapresiasi ini bahwa ini menjadi bagian dari keterlibatan stakeholders dalam penyusunan kebijakan," kata Arsal dalam peluncuran laporan tersebut, dikutip Rabu (13/8/2025).

Arsal mengungkapkan, dari berbagai masukan terkait potensi penerimaan pajak baru, ada beberapa yang bahkan baru diketahui pemerintah. Salah satunya adalah usulan penerapan pajak penghilangan keanekaragaman hayati atau Biodiversity Loss Tax.

"Terus terang baru saya dengar biodiversity loss tax itu. Jadi bagus menurut kita. Kita jadikan catatan," ujarnya. 

Ia menambahkan, rasio pajak Indonesia saat ini tergolong cukup kompetitif, yakni 10,2% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2024. Namun, jika digabungkan dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam yang berkisar 1,5-2%, maka rasio pajak Indonesia sudah mencapai sekitar 12% berdasarkan perhitungan standar IMF.

Lebih lanjut, jika ditambahkan dengan pajak daerah yang sebesar 1% hingga 1,5%, maka tax ratio bisa mencapai 13% hingga 13,5%. "Jadi sebenarnya itu tax ratio kita itu kalau mau komparasi itu ya masih relatif sekitar 13 sampai 13,5%,” tutur dia.

Namun demikian, ia mengakui bahwa angka tersebut terbilang masih belum mencapai standar rasio pajak yang ditetapkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) yang sebesar 15%.

"Kita masih punya gap, tapi jangan bandingkan 10% dengan 15%, harusnya bandingin 12% atau 13%, karena seharusnya itu yang terjadi."

Sebelumnya, Celios melaporkan pemerintah memiliki potensi penerimaan negara melalui sumber pemberlakuan pajak baru yang berasal dari sektor digital, karbon, hingga kekayaan yang diestimasikan dapat mencapai hingga Rp524 triliun per tahun.

Hal ini terungkap dalam hasil publikasi laporan studi Celios yang bertajuk "Dengan Hormat, Pejabat Negara: Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu Di Kebun Binatang pada hari ini, Selasa (12/8/2025).

"Temuan ini menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki ruang fiskal yang besar dengan potensi penerimaan baru mencapai Rp469–524 triliun setiap tahun melalui penerapan pajak alternatif yang progresif," tulis laporan tersebut.

Secara rinci, Celios mengestimasi potensi penerimaan negara baru dapat berasal dari sejumlah sumber, antara lain pajak digital sebesar Rp22,5–29,5 triliun, pajak karbon Rp76,4 triliun, pajak kekayaan Rp81,6 triliun, serta pajak keuntungan modal (capital gain) Rp7 triliun.

Selain itu, potensi penerimaan juga datang dari pajak kepemilikan rumah ketiga senilai Rp2,8— 4,7 triliun; pajak warisan Rp6— 20 triliun; pajak produksi batu bara Rp34,3— 66,5 triliun; pajak windfall profit sektor eksekutif Rp49,9 triliun; serta cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) Rp3,9 triliun.

"Kebijakan [pajak windfall profit sektor eksekutif] ini dikenakan hanya ketika ada laba tak terduga akibat lonjakan harga selama berturut-turut karena volatilitas harga. Dengan merancang threshold keuntungan yang jelas, kebijakan ini tidak menumpuk dengan PPh Badan dan terhindar dari double counting," lanjut laporan tersebut.

Terdapat juga potensi penerimaan dari pajak penghilangan keanekaragaman hayati (biodiversity loss tax), penghapusan insentif pajak pro-konglomerat Rp137,4 triliun; dan juga penurunan tarif PPN dari 11% ke 8% senilai Rp1 triliun.

"Selain itu, penghapusan insentif pajak pro-konglomerat dan penyesuaian tarif PPN ke arah yang lebih rendah namun adil secara sosial, turut memperkuat skema ini," jelas laporan tersebut.

"Dengan demikian, negara sangat mungkin untuk menumbuhkan penerimaan tanpa harus memperbesar beban kelompok rentan."

Topik:

pajak-baru pendapatan-negara kemenkeu