Kasus BLBI BCA Kembali Mencuat, Ini Respons DPR

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 19 Agustus 2025 21:10 WIB
Bank Central Asia (Foto: Dok MI)
Bank Central Asia (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Penjualan saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) terkait penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali menjadi sorotan publik. Berbagai pihak, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mendorong pemerintah untuk mengusut kasut ini.

Penjualan 51% saham BCA pada 2002 silam dianggap menimbulkan kerugian negara hingga Rp87,99 triliun. Mengutip tulisan "Interpelasi BLBI Kasus BCA" oleh mendiang Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri era Gus Dur, Kwik Kian Gie, BCA pada saat itu memiliki utang kepada negara, termasuk dana BLBI.

Pada krisis moneter 1997, BCA sempat mengalami rush dan menerima BLBI senilai Rp31,99 triliun. Sebagai bentuk pelunasan utang, pemerintah kemudian menyita saham-saham BCA dari keluarga Salim.

Dari total utang tersebut, BCA telah membayar cicilan pokok sebesar Rp8 triliun dan membayar bunga senilai Rp8,3 triliun, dengan tingkat bunga saat itu mencapai 70% per tahun. Artinya, sisa utang BLBI sebesar Rp23,99 triliun (pembayaran bunga tidak mengurangi pokok), setara sekitar 92,8% dari nilai saham BCA saat itu.

Selanjutnya, BCA yang sudah menjadi milik pemerintah harus "disehatkan" dengan menginjeksi Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau OR sebesar Rp60 triliun. Kwik mengatakan dalam BCA sudah ada laba bersih sebesar sekitar Rp4 triliun.

"Jadi uang pemerintah yang ada di dalam BCA sebesar jumlah dari tiga angka ini atau Rp. 87,99 triliun (dibulatkan Rp. 88 triliun). Namun BCA dijual kepada Farallon senilai Rp 10 triliun. Jadi ada kerugian yang dibuat oleh pemerintah sendiri sebesar Rp78 triliun," tulis Kwik, dikutip Selasa (19/8/2025).

Kwik kemudian menyoroti kredit senilai Rp52,7 triliun yang diambil Grup Salim, mantan pemegang saham BCA, di Bank swasta terbesar RI tersebut . Ia menggarisbawahi bahwa ketika 92,8% saham BCA dimiliki oleh pemerintah, utang keluarga Salim beralih menjadi utang kepada pemerintah.

Karena keluarga Salim tak memiliki uang tunai, dibayarlah dengan skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang berwujud Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dengan uang tunai sebesar Rp100 miliar dan 108 perusahaan. 

Saat itu penilaian 108 perusahaan menggunakan jasa Danareksa, Bahana dan Lehman Brothers mengeluarkan angka Rp 51,9 triliun. Sehingga utang Grup Salim ke BCA dianggap lunas. 

Sementara itu ,menurut penilaian Price Waterhouse Coopers (PwC), nilai dari skema tersebut tiba pada angka Rp20 triliun saja. Perbedaan signifikan dari penilaian konsorsium Danareksa-Bahana-Lehman dengan PwC disebut terjadi karena perbedaan pandangan makroekonomi.

Pada saat itu, Bahana, Danareksa, dan Lehman Brothers ditugaskan untuk menilai dengan asumsi "Pandangan yang positif tentang hari depan ekonomi Indonesia dan lingkungan politik yang normal" (normalised economic and political scenarios). Artinya dihasilkan angka premium imbas dari going concern dalam lingkungan ekonomi makro yang bagus.

Di sisi lain, PwC ditugasi dengan asumsi dan TOR yang intinya berbunyi : "harus dijual dalam waktu antara 8 dan 10 minggu", dengan "transaksi penjualan dilakukan antara pembeli yang mau membeli tetapi ogah-ogahan, dan penjual yang mau menjual tapi ogah-ogahan" (willing but not anxious).

Meski terdapat perbedaan signifikan dalam penilaian, pemerintah akhirnya menerima Rp20 triliun dari total aset senilai Rp52,8 triliun sebagai pelunasan utang keluarga Salim, atau setara dengan recovery rate sekitar 34%.

Pada tahun 2002, Presiden Megawati sepakat menjual 51% saham BCA kepada publik. Perusahaan Investasi AS Farallon kemudian memenangkan tender tersebut karena membeli saham BCA dengan nilai US$530 juta atau Rp10 triliun pada saat itu.

Sekitar 2007, Grup Djarum menguasai BCA sepenuhnya usai membeli 92,18% saham Farallon di Farindo Investment. Farindo Investment adalah perusahaan patungan Grup Djarum melalui Alaerka, dan Farallon.

Terkait hal ini, Wakil Ketua DPR sekaligus anggota Komisi III, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan belum menelaah detail kasus tersebut. Namun ia mengetahui bahwa BCA yang pada saat itu dimiliki Grup Salim masuk ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dilelang dan dimenangkan oleh Grup Djarum.

"Sehingga lelang tersebut yang dilakukan oleh BPPN, dalam hal ini Pemerintah Indonesia, itu sudah dilakukan. Saya belum bisa berkomentar lebih jauh, karena hanya itu yang saya tahu," kata Dasco, Selasa (19/8/2025).

Menurut Dasco, Komisi III DPR sejauh ini belum memiliki rencana untuk menyelidiki kasus BLBI-BCA. "Setahu saya, ini belum ada rencana Komisi III," ujarnya. 

Sementara itu, politisi Partai Gerindra sekaligus Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, yang membidangi hukum, hak asasi manusia (HAM), dan keamanan, menyatakan tidak ada jadwal pemanggilan terkait kasus BCA.

"Kami baru saja selesai rapat internal menyusun jadwal untuk masa sidang ini. Tidak ada jadwal pemanggilan kepada KPK Terkait kasus BCA tersebut," ucap Habiburokhman, Selasa (19/8/2025).

Ia menekankan bahwa isu perbankan bersifat sensitif dan perlu disikapi dengan sangat hati-hati, agar pemberitaan yang kurang tepat tidak menimbulkan ketidakstabilan.

Topik:

blbi bca penjualan-saham grup-salim dpr