Kenaikan Pajak di Daerah: Sinyal Krisis Fiskal dan Risiko Gejolak Sosial

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 19 Agustus 2025 19:04 WIB
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan (Foto: Ist)
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Ekonomi Indonesia tengah menghadapi tekanan serius. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara serentak di banyak Kabupaten dan Kota tahun ini menandai kondisi fiskal negara yang kritis.

Menurut Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, lonjakan pajak daerah yang tidak wajar ini tidak bisa dipandang sepele. Karena, ini bukan masalah daerah semata, atau bukan masalah Bupati arogan saja. Tetapi jauh lebih besar dan serius dari itu.

"Yang memprihatinkan, Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Keuangan, mencoba lepas tanggung jawab. Yang lebih bahaya, Kementerian Keuangan mengalihkan krisis fiskal yang merupakan permasalahan nasional menjadi permasalahan daerah, yang berpotensi besar memicu ketidakstabilan politik dan sosial di daerah," ungkap Anthony, Selasa (19/8/2025).

Ia menambahkan bahwa akar masalah krisis fiskal ini akibat penarikan utang secara ugal-ugalan selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Utang pemerintah melonjak dari Rp 2.609 triliun pada 2014 menjadi Rp 8.680,13 triliun pada akhir 2024, atau naik 232,7 persen.

Menurutnya, dengan jumlah utang yang sangat besar tersebut, dan suku bunga pinjaman yang sangat tinggi, sekitar rata-rata 7 persen per tahun, maka beban bunga pinjaman juga melonjak tajam, membuat fiskal (APBN) semakin tertekan.

Jumlah (beban) bunga utang melonjak dari Rp133,4 triliun pada 2014 menjadi Rp527,2 triliun pada 2024, atau naik menjadi 4 kali lipat dalam 10 tahun. Beban bunga utang yang sangat besar ini tentu saja sangat menekan APBN.

Di lain sisi, penerimaan pajak semakin melemah. Akibatnya sangat buruk. Penerimaan pajak terkuras untuk bayar bunga utang. Porsi penerimaan pajak untuk membayar bunga utang melonjak, dari hanya 11,6 persen pada 2014 menjadi 23,6 persen pada 2024. 

Artinya, hampir satu per empat dari penerimaan pajak pemerintah habis untuk membayar bunga utang. Kondisi ini mencerminkan kondisi fiskal Indonesia sangat tidak sehat.

Anthony menyampaikan, kondisi fiskal yang terus melemah dan tidak sehat tersebut sudah berlangsung lama, secara konsisten. Artinya, kondisi ini merupakan permasalahan struktural, permasalahan fundamental. 

Oleh karena itu, lanjut Anthony, tanpa ada koreksi atau perbaikan secara struktural, maka krisis fiskal hanya tinggal menunggu waktu saja. Dan saat ini waktunya sudah tiba, tahun 2025, Indonesia memasuki krisis fiskal.

Ia menyampaikan bahwa penerimaan pajak selama enam bulan pertama 2025 hanya mencapai Rp985,2 triliun, turun 4,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dan hanya setara 8,48 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Di lain sisi, kata dia, pembayaran bunga utang naik cukup tajam menjadi Rp247,2 triliun selama periode Januari-Juni 2025, atau mencapai 25,1 persen dari penerimaan pajak, atau 2,1 persen dari PDB.

Kondisi fiskal seperti ini sangat tidak sehat. Krisis fiskal tidak terhindarkan. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB hanya 8,48 persen, sedangkan rasio pembayaran bunga utang mencapai 2,13 persen, sehingga penerimaan pajak (net bunga pinjaman) yang dapat digunakan untuk belanja negara tersisa 6,35 persen saja. Jumlah ini sangat rendah untuk bisa survived.

Sebagai perbandingan, rasio penerimaan pajak (net bunga pinjaman) tahun 2008 dan tahun 2014 masing-masing mencapai 11,5 persen dan 9,6 persen.

Anthony mengungkapkan bahwa Krisis fiskal 2025 tidak dapat dihindarkan. Ia menilai Menteri Keuangan Sri Mulyani berupaya mengalihkan krisis fiskal dari pusat ke daerah. Pada awal Februari 2025, lanjutnya, Sri Mulyani memotong dana ‘transfer ke daerah’ sebesar Rp50,5 triliun atau sekitar 5,5 persen dari pagu anggaran.

Selain itu, Sri Mulyani meminta pemerintah daerah untuk lebih kreatif dalam mencari sumber pendapatan sendiri dan tidak sepenuhnya bergantung pada APBN maupun APBD.

Lebih lanjut, Dana APBN yang diterima pemerintah daerah, melalui ‘transfer ke daerah’, sebagian besar digunakan untuk belanja rutin. Oleh karena itu, pemotongan anggaran ‘transfer ke daerah’ membuat fiskal daerah menjadi kritis dan masuk krisis. Sri Mulyani secara eksplisit minta daerah mencari sumber pendapatan sendiri.

Anthony menyebut cara paling cepat untuk meningkatkan pendapatan daerah adalah dengan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan, yang juga memberikan kontribusi terbesar.

Menurutnya, kenaikan PBB ini seperti ada yang menggerakkan. Seperti ada konsensus di antara pemerintah daerah tersebut. Pertama, kenaikan PBB terjadi secara serentak di berbagai daerah. Kedua, jumlah kenaikan tersebut sangat fantastis dan tidak masuk akal, mencapai beberapa ratus persen. 

"Kenaikan pajak yang sangat tinggi ini dipastikan akan memicu protes keras dari penduduk setempat, yang bisa menjelma menjadi kerusuhan. Dan itu terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah," ujarnya.

Anthony juga mangatakan bahwa protes ala Pati kemungkinan besar akan diikuti oleh daerah-daerah lain yang juga menaikkan pajak dalam jumlah yang tidak wajar, apabila tidak segera dikoreksi atau dibatalkan.

Pertanyaannya, siapa yang menggerakkan kenaikan pajak yang tidak wajar tersebut di berbagai daerah? Siapa yang menunggangi krisis fiskal untuk menciptakan kegaduhan politik?

Topik:

krisis-fiskal pbb kenaikan-pbb apbn apbd anthony-budiawan