Pedagang Thrifting Ngadu ke DPR: Tekstil China yang Bunuh UMKM

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 19 November 2025 14:27 WIB
Pusat Penjualan Baju Bekas di Pasar Senen, Jakarta Pusat (Foto: Dok MI)
Pusat Penjualan Baju Bekas di Pasar Senen, Jakarta Pusat (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Para pedagang pakaian bekas impor (thrifting) mendatangi Badan Aspirasi Masyarakat DPR RI untuk menyampaikan protes dan keluhan atas pengetatan aturan pemerintah terhadap usaha mereka. 

Para pedagang menilai selama ini pemerintah memberikan stigma keliru dengan menyebut bisnis thrifting sebagai ancaman bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

“Kami mengharapkan untuk ada solusi jangka pendek, jangka panjang, bila perlu hasil yang menetap untuk usaha thrifting ini, Pak. Jadi selama ini usaha thrifting ini diidentikan mengganggu UMKM di Indonesia. Jadi kami perlu garis bawahi, Pak, bahwa thrifting ini juga bagian dari UMKM.” ujar Rifai Silalahi, Pedagang Thrifting Pasar Senen, Rabu (19/11/2025).

Rifai menjelaskan bahwa pasar produk thrifting berbeda jauh dengan industri tekstil lokal, sehingga kecil kemungkinan usaha mereka merugikan para pelaku UMKM.

“Sebenarnya bukan thrifting yang membunuh UMKM, tapi lebih kepada pakaian-pakaian impor Cina yang hampir menguasai kurang lebih 80% pangsa pasar di Indonesia.” katanya sembari mengeklaim bahwa saat ini dia memegang data tersebut.

Ia juga mengaku lelah dengan tudingan yang terus muncul setiap tahun terhadap bisnis thrifting. Rifai bahkan mensinyalir jika mungkin saja tuduhan tersebut dilakukan demi melanggengkan barang-barang China yang membanjiri Indonesia.

“Mungkin kehadiran thrifting ini mulai mengganggu pangsa pasar barang-barang yang masuk dari Cina yang bebas sekarang ini.” ungkapnya.

Rifai berharap pemerintah Indonesia dapat melegalkan bisnis thrifting, sebagaimana dilakukan di sejumlah negara maju. Ia menilai bisnis ini telah menjadi sumber penghidupan bagi sekitar 7,5 juta penduduk Indonesia.

“Kita berharap solusi buat kita adalah ini dilegalkan. Tapi, kalaupun memang tidak bisa dilegalkan, harapan kita ini diberi lartas [larangan terbatas],” tuturnya.

“Yang artinya impornya diberikan kuota dibatasi, tapi bukan dimatikan. Jadi solusinya yang kami harapkan adalah dilegalkan, atau setidak-tidaknya diberi kuota, artinya dengan barang larangan terbatas.”

Senada dengan itu, pedagang thrifting lain bernama Widho asal Bandung menilai bahwa arus masuk barang thrifting ke Indonesia sulit dibendung, mengingat keterbatasan aparat. Ia mencontohkan, jumlah polisi air yang hanya sekitar 500 personel jelas tidak sebanding dengan luasnya wilayah dan 17 ribu pulau di Nusantara.

“Gimana kita mau cover ini? Barang ini makanya setiap bulan akan masuk terus. Daripada menjadi kebocoran negara, lebih baik diregulasi gitu. Kita masukannya daripada jadi kebocoran mending jadi devisa untuk negara gitu,” kata Widho.

Karena itu, Widho mendorong pemerintah untuk membuat regulasi yang jelas terkait bisnis thrifting agar tidak ada lagi oknum yang mengambil kesempatan melakukan penindasan terhadap bisnis ini sekaligus memberi kepastian hukum bagi pedangang.

“Dalam thrifting ini jangan kami ditakut-takutin terus sebagai pedagang. Kami pedagang tapi disitain terus barangnya setiap tahun itu pasti ada disita, dirampas masuk ke gudang-gudang harusnya penyitaan itu terjadi hanya di pelabuhan.”

Widho juga meminta solusi yang realistis bagi pedagang thrifting yang kini menghadapi rencana pemerintah memperketat pengawasan terhadap bisnis tersebut.

“Nyari solusi juga cari solusi yang masuk akal gitu. Jangan cari solusi katanya mau dikasih modal tapi minjem ke bank gitu kan. Ya itu sama aja menjerumuskan gitu.” ujarnya.

“Sedangkan di bank katanya sekarang udah mulai disalurkan. Disalurkan ke mana? Siapa yang nerima? Kami gak ada nih pedagang-pedagang di sini yang nerima dana itu gitu. Jangan-jangan nanti salah sasaran gitu” tandasnya.

Topik:

thrifting pedagang-thrifting umkm barang-impor-china tekstil