Tindak Tegas Pelaku Unjuk Rasa Pengetatan COVID-19, Beijing dan Shanghai Dijaga Ketat Aparat Keamanan

John Oktaveri
John Oktaveri
Diperbarui 29 November 2022 17:46 WIB
Jakarta, MI - Sejumlah kota besar China di Beijing dan Shanghai dijaga ketat oleh aparat keamanan hari ini setelah aksi unjuk rasa nasional yang menyerukan kebebasan politik dan diakhirinya penguncian COVID-19 yang dinilai merugikan kehidupan bisnis. Pemerintah negara itu menghadapi aksi protes akhir pekan yang tidak terlihat dalam beberapa dekade karena kemarahan atas penguncian yang tak henti-hentinya. Penguncian itu memicu frustrasi dan dikaitkan dengan sistem politik negara itu secara keseluruhan. Kebakaran mematikan pekan lalu di Urumqi, ibu kota wilayah Xinjiang, menjadi pemicu gelombang kemarahan dan para pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan kota di seluruh negeri. Para demonstran mengatakan pembatasan COVID-19 harus dipersalahkan karena menghambat upaya bantuan penyelamatan. Namun pemerintah membantah klaim itu dan menuduh "pasukan dengan motif tersembunyi" menghubungkan kematian akibat kebakaran dengan kontrol ketat COVID-19. Kemarahan atas penguncian telah meluas menjadi seruan untuk perubahan politik dan para pengunjuk rasa memegang lembaran kertas kosong untuk melambangkan sensor yang menjadi sasaran negara terpadat di dunia itu. Aksi besar-besaran yang direncanakan pada Senin malam tidak terwujud, namun kehadiran polisi terlihat dalam jumlah besar dari ratusan kendaraan dan petugas di jalan-jalan. Orang-orang yang menghadiri aksi unjuk rasa akhir pekan mengatakan kepada AFP bahwa mereka telah menerima panggilan telepon dari petugas penegak hukum yang meminta informasi tentang pergerakan mereka. Di Shanghai, dekat lokasi di mana protes akhir pekan menampilkan seruan berani untuk pengunduran diri Presiden Xi Jinping, staf bar mengatakan kepada AFP bahwa mereka telah diperintahkan untuk tutup pada pukul 22:00 untuk "pengendalian keamanan". Sedangkan sekelompok kecil petugas dikerahkan ke pintu keluar metro di dekat lokasi protes. Kemarin, wartawan AFP melihat petugas menahan empat orang, kemudian membebaskan satu orang, dengan seorang reporter menghitung 12 mobil polisi dalam jarak 100 meter di sepanjang jalan Wulumuqi di Shanghai yang merupakan titik fokus unjuk rasa hari Minggu. Terlepas dari pengerahan polisi yang luar biasa, rasa frustrasi dengan nol-COVID tetap terasa. "Kebijakan (nol-COVID) terlalu ketat. Mereka membunuh lebih banyak orang daripada COVID," kata seorang pejalan kaki berusia 17 tahun yang tidak mau disebutkan namanya kepada AFP. Dia terlihat dikelilingi oleh polisi saat melewati kawasan tersebut. Di tempat lain, aksi unjuk rasa terus berlanjut. Di Hong Kong, tempat protes demokrasi massal meletus pada 2019, puluhan orang berkumpul di Universitas China untuk meratapi para korban kebakaran Urumqi. "Jangan berpaling. Jangan lupa," teriak pengunjuk rasa seperti dikutip ChannelNewsAsia.com, Selasa (29/11). Di Hangzhou, lebih dari 170 km barat daya Shanghai, terjadi pengamanan ketat dan protes sporadis di pusat kota. Seorang peserta mengatakan kepada AFP bahwa 10 orang telah ditahan. "Suasananya kacau. Orangnya sedikit dan kami terpisah. Polisinya banyak, ricuh," katanya. Akan tetapi, kontrol informasi yang ketat di China dan pembatasan perjalanan yang terus berlanjut telah membuat verifikasi jumlah pengunjuk rasa di seluruh negara yang luas itu menjadi tantangan.