Pansus BLBI DPD Sebut Penjualan Saham BCA Rugikan Negara!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 25 September 2022 19:34 WIB
Jakarta, MI - Ketua Panitia Khusus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Dewan Perwakilan Daerah (Pansus BLBI DPD) Bustami Zainudin, menilai penjualan PT Bank Central Asia (BCA) pada akhirnya justru merugikan negara triliunan rupiah. Ada pun proses penjualan tersebut dilakukan melalui, penjualan saham pemerintah di BCA dari program divestasi kepada konsorsium Farallon Capital pada 2002 lalu. Penjualan saham murah ini diduga kuat atas intervensi Dana Moneter Internasional (IMF), sehingga dinilai tidak tepat dan terlalu murah. Konteks pembelian 51 persen saham BCA pada tanggal 31 Desember 2002, dimana nilai aset BCA saat itu berdasarkan laporan keuangan auditor independen tercatat Rp117 triliun. Namun saat transaksi penjualan saham BCA diduga alami suatu rekayasa intelektual dalam buku BCA, yang terdapat obligasi rekap pemerintah senilai Rp60 triliun. Padahal, saham pemerintah yang dimiliki sebesar 93 persen berasal dari pemilik saham BCA lama yakni Anthony Salim. “Atas pengakuan tersebut, ditemukan fakta suatu kejanggalan kasus kerugian keuangan negara senilai Rp49 triliun (subsidi bunga obligasi rekap ex BLBI) ditambah Rp89 triliun (nilai BCA tahun 2003 di luar profit BCA yang diterima oleh Budi Hartono sebagai pemegang saham pengendali BCA sejak tahun 2003) sehingga totalnya Rp138 triliun," ujar Bustami dalam keterangannya, Minggu (25/9). Hal itu sebagai sisa pelunasan utang BLBI senilai Rp 33 triliun yang hanya mampu dibayar Rp 8 triliun saja. Dengan demikian harga saham BCA sebesar 93 persen adalah Rp25 triliun, sehingga sesungguhnya nilai BCA pada tahun 2003 saat dijual dalam posisi untung sebesar Rp 4 triliun. Dalam rincianya, nilai bersih riil BCA sebesar Rp 60 triliun, Rp 25 triliun, dan Rp 4 triliun, sehingga totalnya Rp 89 triliun. Namun anehnya, transaksi penjualan 51 persen saham BCA kepada Farallon (pemilik PT Djarum Budi Hartono) hanya dengan harga Rp5 triliun saja. Menurut Bustami, transaksi ini sangat janggal sebab BCA menerima bunga obligasi rekap pemerintah sebesar Rp 7 triliun sejak tahun 2003 sampai tahun 2009. Hal ini diakui oleh Direktur BCA Subur Tan. Menjawab adanya hal itu, Gubernur BI periode 2003-2008 Burhanudin Abdullah Harahap mengatakan pada dasarnya, perusahaan-perusahaan yang diserahkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) oleh bank direncanakan akan diserahkan atau dijual kepada pemilik lama. IMF menyarankan agar bank-bank itu untuk dijual ke pemilik lama meski akhirnya akan mengalami kerugian 30 persen, karena jika dijual ke pemilik baru harganya akan lebih murah. Namun ironisnya, kata Burhanudin, faktanya justru bank dibeli oleh pemilik lama yang menggunakan baju baru. Dalam pertemuanya dengan BLBI beberapa waktu lalu, Burhanudin mengungkapkan sebenarnya dirinya menginginkan adanya moratorium, namun lingkungan dan waktunya tidak tepat lantaran situasi global sedang sangat sulit seperti terjadinya inflasi di Amerika dan Eropa serta peningkatan inflasi di dalam negeri dengan adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), pangan, dan energi. “Maka di saat kita melakukan moratorium kita akan dianggap default. Jadi terlihat akan aneh,” ujar Burhanudin. Dari jawaban Burhanudin itu, Pansus BLBI akan jadikan bahan untuk memanggil pemangku kepentingan terkait BLBI lainnya. Sebelumnya, Pansus BLBI DPD sudah mengundang Anthony Salim, Budi dan Robert Hartono, serta Sjamsul Nursalim. Pansus BLBI DPD bertindak berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan bukti-bukti berikutnya, bersama dengan undangan kepada semua pihak yang mengetahui duduk persoalan BLBI dan obligasi rekap.