Kasus Korupsi Minyak Goreng, Rizal Malarangeng Salahkan Kebijakan HET

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 8 Desember 2022 21:03 WIB
Jakarta, MI - Mantan tim Asistensi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Malarangeng duduk sebagai saksi ahli di sidang lanjutan dugaan korupsi minyak goreng di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (7/12) kemarin. Menurut Rizal, adanya bantuan langsung tunai atau BLT dapat membantu mengurangi beban masyarakat kurang mampu, mengerakkan perekonomian masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan yang penting tetap menjaga daya beli masyarakat, sehingga produk yang dihasilkan terserap dan negara bisa mendapatkan pajak dari perputaran ekonomi tersebut. “Jelas BLT bukan kerugian, tetapi merupakan keuntungan, dimana negara hadir dalam membantu masyarakat meningkatkan taraf hidupnya, mengurangi kemiskinan. Industri berjalan karena produknya terjual dan negara mendapatkan pemasukan dari pajak,” ungkap Rizal. Sementara, adanya kelangkaan minyak goreng, menurut Rizal, disebabkan adanya kebijakan harga eceran tertinggi (HET). Karena harga yang ditetapkan jauh dibawah produksi, sehingga pelaku usaha kesulitan untuk memproduksi minyak goreng sesuai dengan harga yang ditentukan pemerintah. Hal ini karena produsen minyak goreng tidak semuanya memiliki perkebunan sawit sebagai pemasok bahan baku. Bagi Rizal, kebijakan pemerintah untuk mengendalikan pasar melalui peraturan HET tidak tepat untuk industri minyak goreng. “Kerbijakan untuk mengendalikan harga tidak tepat dilakukan untuk pasar minyak goreng yang ekosistemnya tidak dapat dikontrol oleh pemerintah, termasuk jalur distribusinya. Ini berbeda dengan kebijakan pemerintah soal harga BBM seperti yang pernah saya alami. Harga BBM dapat dikendalikan karena didukung ekosistemnya, yaitu ada kontrol tunggal pemerintah melalui Pertamina, sedangkan untuk minyak goreng, pemainnya sangat beragam,” bebernya. Rizal menambahkan, pengendalian harga melalui HET yang jauh di bawah harga produksi memengaruhi pasokan karena produsen juga tidak ingin rugi. Sementara dari segi permintaan, adanya HET membuat konsumen menganggap dapat membeli dalam jumlah banyak dengan pengeluaran yang sama sehingga mengakibatkan permintaan melonjak. “Tugas pemerintah adalah mencium dimana letak keseimbangannya. Karena pengusaha harus untung agar bisa melanjutkan usahanya dan mengembalikan investasi. Itu petingnya ada mekanisme harga. Kalau dilawan terlalu jauh maka disruptif ekonomi akan cepat dan tidak bisa dikendalikan,” jelas Rizal. Rizal menilai, saat ini belum ada ekosistem yang baik dalam penerapan kebijakan kontrol harga minyak goreng di Indonesia. Sementara itu, Lukita Dinarsyah Tuwo, mantan birokrat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Kementerian Koordinator Perekonomian juga turut menyalahkan kebijakan HET yang tidak disertai dengan ekosistem memadai. "Kelangkaan tidak disebabkan oleh tindakan produsen kelapa sawit, tetapi lebih kepada penetapan kebijakan HET yang tidak disertai kelengkapan persyaratan yang memadai agar kebijakan HET bisa berjalan dengan baik," kata Lukita. Lukita menjelaskan kebijakan HET bisa saja berhasil, asalkan pemerintah mempunyai lembaga seperti PT Pertamina (Persero) untuk minyak goreng. "Buat saya bahwa kelangkaan lebih terkait kebijakan HET yang tidak dilengkapi prasyarat lainnya, antara lain keberadaan lembaga seperti Pertamina yang memproduksi dan mengontrol distribusi sampai ke tingkat konsumen sulit terlaksana dengan baik," katanya. Sebagaimana diketahui, bahwa kasus kelangkaan minyak goreng pernah menghebohkan masyarakat Indonesia pada Maret 2022. Akibat peristiwa ini, banyak warga yang mengalami panic buying karena sulitnya mendapatkan minyak goreng untuk keperluan sehari-hari. Masalah minyak goreng di Indonesia sendiri sudah cukup panjang. Bermula saat harga minyak goreng yang terus meroket naik hingga berbulan-bulan lamanya sehingga meresahkan warga. Pada akhirnya, pemerintah menerapkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng seharga Rp14 ribu per liter mulai awal Februari 2022. Namun setelah ada kebijakan pemerataan harga, minyak goreng menjadi langka pada bulan Maret 2022. 'Hilangnya' minyak goreng pun kini berujung kasus, sejumlah pihak telah ditetapkan sebagai tersangka, mulai dari pejabat Kementerian Perdagangan (Kemendag) hingga sejumlah pengusaha karena ada indikasi korupsi dan negara mengalami kerugian yang cukup besar yakni Rp6,1 triliun. Kerugian negara ini dihitung berdasarkan anggaran BLT minyak goreng yang disalurkan pemerintah. #Korupsi Minyak Goreng