Kejagung Ajukan Kasasi Atas Putusan Vonis Bebas Isak Sattu 

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 9 Desember 2022 14:00 WIB
Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) akan mengajukan kasasi atas Putusan Pengadilan Negeri (PN) Makassar menjatuhkan vonis bebas kepada Mayor Inf. Purnawirawan Isak Sattu dalam kasus pelanggaran HAM berat di Kabupaten Paniai, Papua Tengah. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana mengungkapkan, pihaknya mempunyai waktu 14 hari untuk mempelajari putusan hakim. Namun, dia memastikan pihaknya akan mengajukan kasasi. "Kita masih punya waktu 14 hari menurut ketentuan undang-undang untuk mempelajari dasar atau pertimbangan putusan pengadilan tersebut, yang nanti akan kami lakukan supaya hukum kasasi," ungkap Ketut Sumedana kepada wartawan, Jumat (9/12). Sebelumya, majelis hakim PN Makassar menjatuhkan vonis bebas kepada mantan perwira penghubung Kodim 1705/Paniai, Isak Sattu yang didakwa melakukan pelanggaran HAM berat di Kabupaten Paniai, Papua Tengah. "Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari semua dakwaan penuntut umum," ujar hakim ketua Sutisno saat membacakan putusannya. "Menyatakan terdakwa Mayor Infanteri Purnawirawan Isak Sattu tersebut di atas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagai mana didakwakan dalam dakwaan kesatu dan dakwaan kedua," imbuhnya. Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) pada Pengadilan Negeri Makassar memberikan vonis bebas terhadap Mayor Inf (Purn) Isak Sattu yang menjadi terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai. "Mengadili menyatakan Mayor Inf (Purn) Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat sebagaimana didakwakan pertama dan kedua," kata Ketua Majelis Hakim HAM, Sutisna, Kamis (8/12). Hakim dalam amar putusannya memerintahkan untuk membebaskan terdakwa dari segala tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Komnas HAM pun menyatakan kecewa dengan keputusan tersebut. Menurut mereka, sejak awal Kejaksaan Agung tak mengikuti rekomendasi yang mereka buat dengan hanya menetapkan Isak Sattu sebagai satu-satunya terdakwa. Apalagi, dalam dakwaannya, jaksa menyatakan bahwa ada unsur pertanggungawaban komando dalam kasus ini. Kasus Paniai ini diketahui berawal pada malam 7 Desember 2014 di Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua. Kejadian ini ditengarai diawali oleh teguran kelompok pemuda kepada anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang membawa mobil Toyota Fortuner Hitam tanpa menyalakan lampu. Teguran itu rupanya menyebabkan pertengkaran yang berujung penganiayaan oleh TNI. Esok harinya, 8 Desember 2014, rombongan masyarakat Ipakiye berangkat menuju Enarotali, mendatangi Polsek Paniai dan Koramil untuk meminta penjelasan. Masyarakat berkumpul di Lapangan Karel Gobai yang terletak di depan Polsek dan Koramil sambil menyanyi dan menari sebagai bentuk protes terhadap tindakan aparat sehari sebelumnya. Merasa tak mendapat tanggapan, situasi memanas dan masyarakat mulai melempari pos polisi dan pangkalan militer dengan batu. Aparat menanggapi aksi tersebut dengan penembakan untuk membubarkan massa. Empat orang warga sipil tewas dalam kasus paniai dan tujuh belas lainnya mengalami luka-luka dalam peristiwa ini. Komnas HAM pun menyatakan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat.