Fokal IMM Minta DPR Tolak Perppu Cipta Kerja

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 8 Januari 2023 01:19 WIB
Jakarta, MI - Langkah Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja sangat disayangkan. Padahal sebelumnya pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat secara formil. Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya paling lama dalam waktu 2 tahun. Alih-alih melaksanakan perintah MK dengan sungguh-sungguh, Jokowi malah menerbitkan Perppu No.2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada tanggal 30 Desember 2022. Artinya Presiden secara sadar telah mengabaikan perintah MK. Berarti pula Presiden telah melecehkan putusan sekaligus institusi MK. Juga mengabaikan peran DPR yang seharusnya bersama pemerintah menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja sesuai perintah MK. Jadi keluarnya Perpu ini jelas melanggar prinsip-prinsip negara hukum. Keluarnya Perppu ini sulit diterima akal sehat. Bertentangan dengan perintah MK yang harus dilaksanakan oleh seorang presiden. Selain itu tidak ada kondisi “kegentingan memaksa” sebagai syarat bolehnya presiden mengeluarkan Perppu. Kecuali alasan yang terkesan dipaksakan oleh pemerintah. Pakar Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin menyebut Pemerintah sengaja mendaruratkan sesuatu yang tidak darurat. "Ini ironi demokrasi, karena salah satu ironi demokrasi adalah kedaruratan," kata Zainal, Minggu (8/1). Dengan demikian presiden jelas-jelas telah menunjukkan sikap tidak patuh pada konstitusi dan aturan bernegara. MK dibentuk oleh konstitusi dan diberi wewenang konstitusi untuk melakukan pengujian Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Artinya, putusan MK adalah perintah konstitusi yang bersifat final, wajib ditaati dan dijalankan, termasuk oleh presiden. Mengabaikannya sama saja dengan melanggar konstitusi. Bahkan banyak kalangan, pakar hukum dan akademisi menyatakan penerbitan Perppu tersebut melanggar konstitusi. Diantaranya Prof. Jimly Ashiddiqie mantan Ketua MK. Dengan alasan itu maka, Forum Keluarga Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (FOKAL IMM) meminta DPR RI untuk menolak pengesahan Perppu tersebut menjadi Undang-Undang. DPR RI agar segera bersidang menolak Perpu Cipta Kerja dan menerbitkan Undang-Undang Pencabutan Perppu tersebut. "Langkah ini kami pandang penting agar presiden tidak seenaknya dan ugal-ugalan menggunakan kekuasaan. Amanah kekuasaan itu harus diemban dengan penuh kesadaran demi sebesar-besarnya kepentingan rakyat, bukan kepentingan segelintir elit atau sekelompok oligarki," kata Ketua Umum FOKAL IMM, Armyn Gultom, Minggu (8/1). "Jangan sampai rakyat menduga bahwa keluarnya Perpu ini juga bagian dari pesanan kepentingan oligarki itu," tambahnya. Semoga DPR masih bisa diharapkan sebagai penyambung lidah rakyat. Anggota DPR jangan terpasung oleh Partai Politik misalnya dengan alasan karena menjadi bagian dari koalisi pemerintahan. "Anggota DPR adalah wakil rakyat, bukan wakil parpol. Tugas DPR adalah mengawasi pemerintah, bukan malah bersekongkol dengan pemerintah," tandasnya. #Fokal IMM