Wajib Tahu, Ini Ancaman Pidana Pelaku Tabrak Lari Hingga Korban Meninggal Dunia

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 28 Januari 2023 22:38 WIB
Jakarta, MI - Baru-baru ini publik dihebohkan dengan kasus tabrak lari yang menewaskan Selvi Amalia Nuraeni, mahasiswi Universitas Suryakencana Cianjur, Jawa Barat hingga meninggal dunia yang kini disebut ada kejanggalan soal mobil penabraknya. Awalnya, beredar dugaan jika mobil Innova milik petinggi polisi yang menabraknya. Namun, hal ini dibantah Kapolres Cianjur AKBP Doni Hermawan yang berbalik menuding pengemudi mobil Audi A8 berwarna hitam sebagai penabrak korban. Doni juga menyebut bahwa mobil tersebut memaksa masuk iring-iringan polisi. Kejanggalan ini tak kunjung menemukan titik terang karena pengemudi mobil Audi itu muncul ke publik dan mengklarifikasi segala isu tentangnya. Sejauh ini, pihak Polda Jawa Barat belum bisa menentukan secara pasti mobil yang menabrak mahasiswi bernama Selvi Amalia itu, meskipun Polres Cianjur menduga mobil yang terlibat kecelakaan itu bermerek Audi. Namun dapat dipastikan, polisi tidak akan menutup-tutupi proses dalam penyelidikan dan pengungkapan kasus dugaan tabrak lari yang mengakibatkan seorang mahasiswi di Cianjur itu. Tak hanya itu, penabrakan kendaraan bermotor juga terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya yang juga tertabrak meninggal dunia. Yaitu Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Muhammad Hasya Atallah Saputra diduga ditabrak oleh pensiunan polisi di Jagakarsa, Jakarta Selatan, justru ditetapkan sebagai tersangka. Ironisnya, mahasiswa yang meninggal dunia itu justru ditetapkan sebagai tersangka. Alasan polisi yang disebut-sebut membela mantan anggota Polri itu ialah Hasya tewas karena kelalaiannya sendiri, bukan akibat kelalaian pensiunan anggota Polri yang menabraknya. Penabrak yang disebut pensiunan pejabat polri Polri berpangkat AKBP (Purn) yakni Eko Setia Budi Wahono dan keluarga Hasya juga telah beberapa kali dipertemukan untuk mediasi, tetapi tidak ada titik temu. Meski kasus ini dihentikan (SP3) oleh pihak kepolisian, namun keluarga korban ingin kasus ini sampai pada Pengadilan. Atas dua kasus diatas, perlu diketahui bahwa dalam Undang-Undang (UU) telah mengatur ancaman pidananya. Pasal kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian bisa dijadikan alat untuk menjerat pelaku supaya mendapatkan hukuman setimpal. Kecelakaan Lalu Lintas merupakan sebuah kejadian yang diakibatkan oleh kendaraan dengan dampak kerusakan, cedera, atau kerugian bagi pelaku dan korban. Kejadian ini tidak bisa diprediksi waktu dan tempatnya, kecuali sudah direncanakan. Untuk itu, perlu mengetahui langkah hukum menjerat pelaku kecelakaan lalu lintas apabila menemukan kejadian serupa di lingkungan sekitar. Hal ini, agar korban bisa mendapatkan keadilan, dan pelaku segera diadili dengan berat hukuman tertentu. Dalam Pasal 310 UU No 22 Tahun 2009, diatur secara jelas, bahwa "Setiap pengemudi kendaraan bermotor, baik roda dua atau empat, menyebabkan laka lantas dengan korban jiwa, maka akan dipenjara maksimal 6 tahun. Atau membayar denda sebesar maksimal 12 juta rupiah". Jika ada saksi kejadian seharusnya turut memberikan pertolongan atau kesaksian ke pihak terkait seperti kepolisian. Namun jika tidak melakukan pelaporan atau memberikan pertolongan, ada sanksi menanti. Sementara pengemudi kendaraan tidak boleh kabur begitu saja. Dalam hal ini wajib menghentikan kendaraan tersebut, memberikan pertolongan, juga melaporkan kecelakaan kepada kepolisian. Jika memang dalam keadaan terpaksa tidak bisa melakukan ketentuan tersebut, maka harus segera melaporkan diri ke kepolisian terdekat. Catat! korban berhak mendapatkan perawatan, pertolongan, santunan, hingga ganti rugi dari pihak pelaku, pemerintah, atau perusahaan asuransi. Pelaku tidak boleh lari dari tanggung jawabnya sebagai pihak yang bersalah sebagaimana telah diatur dalam pasal 235 UU LLAJ. Jika pelaku lari, justru dapat ancaman pidana pula. Pengemudi kendaraan bermotor yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban luka, baik luka ringan maupun luka berat, atau meninggal dunia diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur Pasal 310 ayat (2), (3), dan (4) UU LLAJ yang berbunyi: (2). Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). (3). Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (4).Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). Tidak hanya itu, pengemudi juga wajib memberikan bantuan biaya pengobatan untuk korban cedera, serta bantuan biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman bagi korban meninggal dunia sebagaimana diatur dalam Pasal 235 UU LLAJ. Sayangnya kewajiban untuk memberikan bantuan biaya ini tidak disertai dengan adanya sanksi hukum yang memaksa. Perlu digarisbawahi, pemberian bantuan biaya ini tidak menghapus tuntutan pidana kepada pengemudi tersebut. Di sisi lain, pasal yang terkait tabrak lari lainnya juga menyebutkan setiap pengemudi yang terlibat kecelakaan lalu lintas juga memiliki tanggung jawab antara lain wajib: Menghentikan kendaraan yang dikemudikannya; Memberikan pertolongan kepada korban; melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Polri”) terdekat; Dan memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan. Apabila pengemudi dalam keadaan memaksa sehingga tidak dapat melaksanakan kewajiban menghentikan kendaraan dan memberi pertolongan, setidaknya ia harus segera melaporkan diri kepada Kepolisian terdekat. Terkait dengan tanggung jawab pengemudi yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas, di masyarakat dikenal istilah “tabrak lari” yaitu mengemudikan kendaraan dan terlibat kecelakaan, tetapi tidak menghentikan kendaraan dan tidak memberikan pertolongan kepada korban. Untuk pengemudi yang menyebabkan tabrak lari ini selain dikenakan Pasal 310 UU LLAJ, juga dapat dikenakan Pasal 312 UU LLAJ yang berbunyi: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). Ternyata, sanksi untuk pengemudi tabrak lari tidak kalah beratnya dengan sanksi untuk penyebab kecelakaan lalu lintas itu sendiri. Kewajiban untuk memberi bantuan biaya diatur dalam UU LLAJ, tetapi tidak disertai dengan ancaman sanksi jika tidak dilakukan. Akan tetapi, hakim bisa saja menetapkan terdakwa untuk memberi bantuan biaya kepada korban seperti dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1212 K/Pid/2011 (hal. 4). Terkait dengan aturan yang menyangkut kasus tabrak lari, belakangan Polri menerbitkan peraturan terbaru yang membahas mengenai registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor yang tertuang dalam Perpol 7/2021. Yang mana dalam aturan tersebut, upaya pemblokiran kendaraan yang digunakan oleh pelaku tabrak lari dapat dilakukan karena terkait dengan penegakan hukum pelanggaran lalu lintas. Dalam Pasal 87 ayat (1) Perpol 7/2021, unit pelaksana Regident Ranmor dapat memblokir data kendaraan bermotor yang dikendarai oleh pelaku tabrak lari baik data Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) ataupun Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) guna kepentingan penegakan hukum pelanggaran lalu lintas yang sebelumnya diajukan oleh penyidik. (Aswan)