Putri Candrawathi Disebut Depresi Gegara Kekerasan Seksual, JPU: Alat Bukti Tidak Relevan

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 30 Januari 2023 12:55 WIB
Jakarta, MI - Jaksa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menilai terdakwa kasus pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Putri Candrawathi, mengalami depresi lantaran kekerasan seksual tidaklah relevan. Dalam pleidoinya, kuasa hukum menyebut Putri Candrawathi depresi berdasarkan keterangan ahli psikologi forensik. Hal itu disampaikan jaksa penuntut umum (JPU), saat membacakan replik atas pleidoi Putri dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (30/1). "Di dalam pleidoi tim penasihat hukum terdakwa menggunakan alat bukti keterangan ahli psikologi forensik yang menggambarkan terdakwa Putri Candrawathi sebagai orang yang mengalami depresi atau trauma kekerasan seksual adalah tidak relevan," kata Jaksa di persidangan, Senin (30/1). Lebih lanjut, Jaksa mengakatakan adapun alat bukti tersebut sebagai circumtance evidence atau alat bukti tidak langsung, baik dalam keterangan ahli psikologi forensik Reni Kusumawardani dan ahli Nathanael Johanes Sumampouw. Hasil analisis psikologi forensik, memiliki deviasi dan hasil psikologi forensik tak bisa 100 persen menjamin kebenaran sesuai fakta yang sebenarnya. "Hal tersebut bersesuaian dengan keterangan ahli kriminologi, yaitu Prof Muhammad Mustofa memberikan keterangannya di depan persidangan di bawah sumpah, bahwa untuk membuktikan ada tidaknya suatu perbuatan seksual atau pemerkosaan harus ada bukti ilmiah, yaitu pemeriksaan forensik, seperti jejak DNA berupa visum et repertum," ujarnya. Namun, Putri tidak diperiksa karena berusaha mempertahankan kebohongannya yang didukung oleh tim pengacara Putri. Perihal itu, jaksa menyatakan dalil-dalil yang dikemukakan kuasa hukum Putri harus dikesampingkan. Dalam kasus ini, Putri Candrawathi dituntut 8 tahun penjara. Jaksa menilai Putri turut terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua bersama Ferdy Sambo dkk. Putri diyakini jaksa melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Jaksa menilai tidak ada alasan pemaaf dan pembenar atas perbuatan Putri.