Calon Hakim Agung Bakal Buka Lagi Kasus Jessica Wongso, Otto Hasibuan: Perekayasa CCTV yang Membuatnya Dihukum!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 26 November 2023 02:28 WIB
Otto Hasibuan (Foto: MI/Aswan)
Otto Hasibuan (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Pengacara Jessica Kumala Wongso, Otto Hasibuan mengungkapkan akan mengajukan peninjauan kembali (PK) dalam kasus kliennya. 

Namun, terlebih dahulu akan melakukan upaya hukum lainnya sehingga didapatkan novum atau bukti baru yang mendukung PK-nya.

Seperti diketahui, Jessica Wongso didakwa sebagai pembunuh dalam kasus kopi sianida yang menewaskan Mirna Salihin dan dihukum 20 tahun penjara.

Jessica Wongso kini sudah 7 tahun mendekam dipenjara.

Kasus ini harus dibuka kembali. Pasalnya, Otto sapaannya menduga ada pihak yang melakukan kejahatan dalam kasus yang terjadi pada tahun 2016 itu.

"Kami akan mengajukan PK setelah terlebih dahulu membongkar pelaku yang diduga melakukan kejahatan dalam kasus ini," tegas Otto saat dihubungi Monitorindonesia.com, Minggu (26/11) dini hari.

Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini menambahkan, bahwa dugaan pihak yang merekayasa dan menyembunyikan CCTV-lah yang membuat kliennya itu dihukum.

"Aparat penegak hukum harus membongkar pelaku yang diduga melakukan rekayasa cctv dan yang menyembunyikan cctv sehingga membuat Jessica dihukum," tandas Advokat senior ini.

Adapun tanggapan Otto ini merespons keberanian calon Hakim Agung Achmad Setyo Pudjoharsoyo saat dihadapan Komisi III DPR pada Kamis (23/11) kemarin.

Bahkan, Achmad berani pula mengesampingkan Pasal 24 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali."

Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana menyatakan bahwa pihaknya tengah menunggu bukti baru (Novum) dari pihak Jessica Wongso melalui PK-nya yang akan diajukan nanti.

"Tapi kalau ada, silakan membuat PK baru. Sekarang kita tinggal menunggu, novum apa yang diajukan. Jangan sampai yang sudah diceritakan dahulu, diungkap dahulu dalam persidangan berikutnya, diajukan kembali," kata Ketut.

"Saya berharap sekali, kasus ini ketika dibuka kembali, novum apa yang dipunyai oleh teman-teman lawyer Jessica," harap Ketut menambahkan.

Kendati demikian, menurut Ketut, film dokumenter seperti Ice Cold itu bukanlah bagian dari novum atau bukti baru dalam perkara.

"Menurut saya itu bukan bagian daripada novum. Yang bagian daripada novum itu adalah ketika ada sesuatu yang baru, ditunjukkan kepada pengadilan. Itu yang kita nilai," ungkap Ketut.

"Kita tahu semua bahwa peradilan ini dulunya sudah terbuka untuk umum. Tapi tiba-tiba setelah tujuh tahun berjalan, ada hal yang berbeda. Ini menurut saya ada sesuatu yang aneh dan meragukan," imbuh Ketut.

Sebagai informasi, bahwa kasus ini berawal dari reuni bersama teman kuliah Mirna saat menempuh pendidikan di Billy Blue College, Australia. 

Reuni tersebut rencananya dihadiri oleh empat orang yaitu Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso, Hani Boon Juwita, dan Vera. 

Namun, reuni hanya dihadiri oleh tiga orang, Vera batal hadir.

Mereka sepakat pertemuan reuni tersebut diadakan di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta Pusat, pada 6 Januari 2016, pukul 17.00 WIB. 

Jessica Wongso datang lebih dulu sekitar pukul 15.32 WIB, dengan alasan menghindari 3 in 1 atau aturan lalu lintas yang mewajibkan minimal 3 orang dalam satu mobil. 

Jessica memesan es kopi Vietnam dan dua cocktail karena ia datang terlebih dahulu. Setelah pesanan datang, Mirna Salihin dan Hani sampai di Kafe menghampiri Jessica yang duduk di meja nomor 54. 

Kedatangan mereka berdua disambut oleh Jessica, mereka bertegur sapa dan menanyakan kabar. Setelah basa-basi selesai, Mirna dan Hani duduk. 

Setelah duduk, Mirna meminum kopi vietnam yang telah dipesan oleh Jessica. Selang beberapa menit, Mirna kejang-kejang, mulutnya mengeluarkan buih dan tidak sadarkan diri. 

Mirna pun dibawa ke klinik di Grand Indonesia. Karena butuh penanganan medis lebih lanjut, Mirna Salihin dirujuk ke Rumah Sakit Abdi Waluyo. 

Namun, di tengah perjalanan sebelum sampai di rumah sakit, Mirna menghembuskan napas terakhir. Ayah Mirna, Edi Dharmawan merasa ada kejanggalan dari kematian anaknya. 

Dia pun memutuskan melaporkan hal ini ke Polsek Metro Tanah Abang. Pada 16 Januari 2016, tim Puslabfor Polri menemukan ada 3,75 miligram zat sianida di dalam kopi yang diminum Mirna. 

Racun itu terdeteksi sudah berada dalam lambung Mirna. Kepolisian pun meningkatkan status penyelidikan kasus ini menjadi penyidikan. 

Usai gelar perkara dan hasil pemeriksaan mulai dari CCTV cafe, keluarga, dan pegawai kafe, akhirnya Polisi lantas menetapkan Jessica menjadi tersangka pada 29 Januari 2016. 

Pihak pengacara Jessica dengan mengajukan praperadilan di Pengadilan negeri Jakarta Pusat. Hasilnya, pengajuan praperadilan itu ditolak oleh Hakim. 

Setelah lima bulan kemudian, Jessica baru menjalani sidang pertama sebagai terdakwa tepatnya 15 Juni 2016. 

Tercatat ada 32 kali persidangan dan puluhan saksi dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) guna membuktikan dakwaannya. 

Hingga, pada 27 Oktober 2016, majelis hakim menyatakan terdakwa Jessica dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana kepada Mirna, motifnya sakit hati karena dinasihati soal asmara. 

Jessica pun divonis dengan hukuman penjara selama 20 tahun. Vonis Pengadilan negeri itu langsung dijawab pihak Jesicca dengan pengajuan banding dan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). 

Namun upaya itu gagal, Hakim Pengadilan Tinggi PT dan MA justru menguatkan putusan hakim Pengadilan Negeri. 

Pihak Jessica pun sempat mengajukan upaya lagi ke MA untuk peninjauan kembali (PK), tapi hasilnya tetap sama. Jessica tetap dinyatakan bersalah dalam kasus ini. 

Setelah melakukan 20 kali persidangan selama 10 bulan, Jessica ditetapkan sebagai tersangka oleh hakim karena menaruh sianida di dalam es kopi Vietnam. (LA)